SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA


MERINGKAS SEJARAH HUKUM PIDANA DI INDONESIA DARI MULAI HUKUM PIDANA ADAT, HUKUM PIDANA MASA KOLONIAL, HUKUM PIDANA PASCA KEMERDEKAAN, HUKUM PIDANA NASIONAL HINGGA RANCANGAN KUHP BARU

Diajukan untuk Memenuhi Tugas, Mata Kuliah Hukum Pidana,
Semester Genap, Tahun Akademik 2009 / 2010
Dosen Pembimbing : Hj. Rd. Dewi Asri Yustia, S.H.,M.H.
Oleh: Rudi Pradisetia Sudirdja
NPM : 091000299
Kelas : E


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN
JALAN LENGKONG BESAR NO 68 BANDUNG
Telp. (022) 4205945, 4262226
2010 / 1431

Kata Pengantar
Asalamualaikum Wr.wb
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang tiada hentinya memberikan petunjuk, rahmat dan karunia-Nya. Tak lupa Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Dengan segala rasa syukur yang tinggi penyusun berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan dosen mata kuliah Pengantar Hukum Indoesia Fakultas Hukum Universitas Pasundan yaitu "Meringkas Sejarah Hukum Pidana Di Indonesia Dari Mulai Hukum Pidana Adat, Hukum Pidana Masa kolonial, Hukum Pidana Pasca Kemerdekaan, Hukum Pidana Nasional, Hingga Rancangan KUHP Baru.
Adapun tujuan dari ringkasan ini adalah selain untuk memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa disiplin yang senantiasa melaksanakan tugas yang diberikan oleh dosen juga sebagai penambahan wawasan tentang sejarah hukum pidana yang berlaku di Indonesia.
Penyusun menyusun ringkasan ini dengan baik, baik dari isi maupun maupun dari kualitas . Namun penyusun menerima saran dan kritikan konstruktif dari pembaca dengan senang hati.
Akhir kata, semoga ringkasan ini bermanfaat bagi penyusun pada khususnya dan pembaca semua pada umumnya dan juga agar mengetahui latarbelkang sejarah hukum pidana di Indoesia dan untuk menyongsong pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
Wabillihi taufik walhidayah wassalammu'alaikum Wr.Wb
Bandung, September 2010

Penyusun
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN

BAB I HUKUM PIDANA ADAT

BAB II HUKUM PIDANA MASA KOLONIAL
  1. Zaman VOC
  2. Zaman Belanda
  3. Zaman Jepang
BAB III HUKUM PIDANA PASCA KEMERDEKAAN

BAB IV HUKUM PIDANA NASIONAL
  1. 1945-1949 (UUD 194
  2. 1949-1950 (Konstitusi RIS)
  3. 1950-1959 (UUDS 1950)
  4. 1959- Sekarang (UUD 1945-Amandemen ke-4)
BAB IV RANCANGAN KUHP BARU
  1. DR. Andi Hamzah, S.H
  2. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H
  3. Prof. H. Soedarto, S.H
  4. Prof. Muladi, S.H
DAFTA PUSTAKA

PENDAHULUAN
Hukum pidana merupakan hukum yang masuk kedalam kategori hukum publik, yaitu : hukum yang mengatur kepentingan umum. Hukum pidana sendiri memiliki pengertian, yaitu : Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbutan yang dilarang oleh undang-undang beserta ancaman hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelanggarnya.
Hukum pidana bertujuan menegakkan nilai kemanusiaan, namun di sisi yang lain penegakan hukum pidana justru memberikan sanksi kenestapaan bagi manusia yang melanggarnya. Oleh karena itulah kemudian pembahasan mengenai materi hukum pidana dilakukan dengan ekstra hati-hati, yaitu dengan memperhatikan konteks masyarakat di mana hukum pidana itu diberlakukan dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang beradab.
Persoalan kesesuaian antara hukum pidana dengan masyarakat dimana hukum pidana tersebut diberlakukan menjadi salah satu prasyarat baik atau tidaknya hukum pidana. Artinya, hukum pidana dianggap baik jika memenuhi dan berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dimiliki masyarakat. Sebaliknya, hukum pidana dianggap buruk jika telah usang dan tidak sesuai dengan nilai-nilai dalam masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku di Indonesia sekarang ini, belumlah merupakan hukum yang asli lahir dan dibuat oleh bangsa kita sendiri, melainkan
warisan peninggalan bangsa Belanda dahulu. KUHP kita sekarang ini masih merupakan terjemahan daripada KUHP Belanda (Wetboek van Strafrech).
Adapun riwayat atau sejarah pertumbuhan hukum pidana di Indonesia, akan saya uraikan dalam tulisan ini. Hal inipun bertujuan untuk menyongsong pembaharuan hukum pidana di Indonesia dan agar kita semua sebagai mahasiswa fakultas hukum memahami dan mengetahui sejarah perkembangan hukum pidana di Indonesia.
BAB I
HUKUM PIDANA ADAT

Pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum.
Tidak dipungkiri lagi bahwa adagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat. Karena dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum.
Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat tanpa ada campur tangan kerajaan. Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat.
Hukum pidana yang berlaku saat itu belum mengenal unifikasi. Di setiap daerah berlaku aturan hukum pidana yang berbeda-beda. Kerajaan besar macam Sriwijaya sampai dengan kerajaan Demak pun menerapkan aturan hukum pidana. Kitab peraturan seperti Undang-undang raja niscaya, undang-undang mataram, jaya lengkara, kutara Manawa, dan kitab adilullah berlaku dalam masyarakat pada masa itu. Hukum pidana adat juga menjadi perangkat aturan pidana yang dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat nusantara.
Hukum Kerajaan tersebut lazimnya disebut sebagai hukum adat. Hukum itu ada sebelum kedatangan bangsa Belanda yang dimulai oleh Vasco da Gamma pada tahun 1596, orang Indonesia telah mengenal dan memberlakukan hukum pidana adat. Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu.
Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia.
Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turun-temurun dan bercampur menjadi satu.
Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya. Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaranajaran Hindu.
Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan.
Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali.
BAB II
HUKUM PIDANA MASA KOLONIAL

Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan.
Pada uraian dibawah ini akan menjelaskan perkembangan hukum pidana di Indonesia pada masa kolonial, sebagai berikut :
  1. Zaman VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) Tahun 1602-1799
Masa pemberlakuan hukum pidana Barat dimulai setelah bangsa Belanda datang ke wilayah Nusantara, yaitu ditandai dengan diberlakukannya beberapa peraturan pidana oleh VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie).
VOC sebenarnya adalah kongsi dagang Belanda yang diberikan "kekuasaaan wilayah" di Nusantara oleh pemerintah Belanda. Hak keistimewaan VOC berbentuk hak octrooi Staten General yang meliputi monopoli pelayaran dan perdagangan, mengumumkan perang, mengadakan perdamaian dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara, dan mencetak uang.
Pemberian hak demikian memberikan konsekuensi bahwa VOC memperluas dareah jajahannya di kepulauan Nusantara. Dalam usahanya untuk memperbesar keuntungan, VOC memaksakan aturanaturan yang dibawanya dari Eropa untuk ditaati orang-orang pribumi.
Pada tahun 1642 Joan Maetsuycker bekas Hof van Justitie di Batavia yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderak van Diemen merampungkan suatu himpunan plakat-plakat yang diberi nama Statuten van Zeventien. Pada tahun 1850 himpunan itu disahkan oleh Heeren Zeventien
Menurut Utrecht, hukum yang berlaku di daerah yang dikuasai oleh VOC ialah :
  1. hukum satatuta yang termuat di dalam : Statuten van Batavia.
  2. hukum Belada kuno
  3. asas-asas hukum Romawi.
Hubungan hukum Belanda yang kuno dengan statuta itu ialah sebagai pelengkap, jika statuta tidak dapat menyelesaikan masalah, maka hukum Belanda kuno yang diterapkan, sedangkan hukum Romawi bcrlaku untuk mengatur kedudukan hukum budak (Slaven recht).
Statuta Betawi berlaku bagi daerah Betawi dan sekitarnya yang mempunyai batas utara : pulau-pulau Teluk Betavvi, di timur : sungai Citarum, di selatan : Samudera India, di barat : Sungai Cisadane.
Ini mcrupakan teori saja, karena prakteknya orang pribumi tetap tunduk kcpada hukum adatnya. Di daerah lain tetap berlaku hukum adat pidana. Campur tangan VOC hanya dalam soal-soal pidana yang berkaitan dengan kepentingan dagangnya. Di daerah Cirebon berlaku Papakem Cirebon yang mendapat pengaruh VOC.
Pada tahun 1848 dibentuk lagi intermaire strafbepalingen. Barulah pada tahun 1866 muncul kodifikasi yang sistematis. Mulai tanggal 10 Pebruari 1866 berlakulah dua KUHP di Indonesia :
  1. Het Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (Stbl. 1866 Nomor 55) yang berlaku bagi golongan Eropa mulai 1 Januari 1867. Kemudian dengan Ordonansi tanggal 6 Mei 1872 berlaku KUHP untuk golongan Bumiputra dan Timur Asing.
  2. Het Wetboek van Strafrecht voor Inlands en daannede gelijk-gestelde (Stbl. 1872 Nomor 85), mulai berlaku 1 Januari 1873.
Setiap peraturan yang dibuat VOC diumumkan dalam bentuk plakaat, tetapi pengumuman itu tidak tidak disimpan dalam arsip. Sesudah diumumkan, plakaat peraturan itu kemudian dilepas tanpa disimpan sehingga tidak dapat diketahui peraturan mana yang masih berlaku dan yang sudah tidak berlaku lagi. Keadaan demikian menimbulkan keinginan VOC untuk mengumpulkan kembali peraturan-peraturan itu.
Kumpulan peraturan-peraturan itu disebut sebagai Statuten van Batavia (Statuta Betawi) yang dibuat pada tahun 1642. Pada tahun 1766 Statuta Batavia itu dibuat kembali dan dihasilkan Statuta Batavia Baru. Statuta itu berlaku sebagai hukum positif baik bagi orang pribumi maupun bagi orang asing, dengan mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan peraturan-peraturan lain.
Walaupun statuta tersebut berisi kumpulan peraturan-peraturan, namun belum dapat disebut sebagai kodifikasi hukum karena belum tersusun secara sistematis.
Dalam perkembangannya, salah seorang gubernur jenderal VOC, yaitu Pieter Both juga diberikan kewenangan untuk memutuskan perkara pidana yang terjadi di peradilan-peradilan adat.
Alasan VOC mencampuri urusan peradilan pidana adat ini disebabkan beberapa hal, antara lain:
  1. sistem pemidanaan yang dikenal dalam hukum pidana adat tidak memadai untuk dapat memaksakan kepada penduduknya agar mentaati peraturan-peraturan;
  2. sistem peradilan pidana adat terkadang tidak mampu menyelesaikan perkara pidana yang terjadi karena permasalahan alat bukti; dan
  3. adanya perbedaan pemahaman mengenai kejahatan dan pelanggaran antara hukum pidana adat dengan hukum pidana yang dibawa VOC.
Sebagai contoh adalah suatu perbuatan yang menurut hukum pidana adat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, namun menurut pendapat VOC perbuatan tersebut dianggap kejahatan, sehingga perlu dipidana yang setimpal.
Bentuk campur tangan VOC dalam hukum pidana adat adalah terbentuknya Pepakem Cirebon yang digunakan para hakim dalam peradilan pidana adat. Pepakem Cirebon itu berisi antara lain mengenai sistem pemidanaan seperti pemukulan, cap bakar, dirantai, dan lain sebagainya.
Pada tahun 1750 VOC juga menghimpun dan mengeluarkan Kitab Hukum Muchtaraer yang berisi himpunan hukum pidana Islam. Pada tanggal 31 Desember 1799, Vereenigde Oost Indische Compagnie dibubarkan oleh pemerintah Belanda dan pendudukan wilayah Nusantara digantikan oleh Inggris.
Gubernur Jenderal Raflles yang dianggap sebagai gubernur jenderal terbesar dalam sejarah koloni Inggris di Nusantara tidak mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang telah berlaku. Dia bahkan dianggap sangat menghormati hukum adat.
2. Zaman Belanda
Sebagai diketahui dari tahun 1811 sampai tahun 1814 Indonesia pernah jatuh dari tangan Belanda ke tangan Inggris. Berdasarkan Konvensi London 13 Agustus 1814, maka bekas koloni Belanda dikembaljkan kepada Belanda. Pemerintahan Inggris diserahterimakan kepada Komisaris Jenderal yang dikirim dari Belanda.
Dengan Regerings Reglement 1815 dengan tambahan (Supletoire Instructie 23 September 1815) maka hukum dasar pemerintah kolonial tercipta.
Agar tidak terjadi kesenjangan peraturan, maka dikeluarkan proklamasi 19 Agustus 1816, Stbl. 1816 Nomor 5 yang mengatakan bahwa untuk sementara waktu semua peraturan-peraturan bekas pemerintah Inggris tetap dipertahankan. Pada umumnya masih berlaku Statuta Betawi yang baru, dan untuk orang pribumi hukum adat pidana masih diakui asal tidak bertentangan dengan asas-asas hukum yang diakui dan perintah-perintah, begitu pula undang-undang dari Pemerintah.
Kepada bangsa Indonesia diterapkan pidana berupa kerja paksa di perkebunan yang didasarkan pada Stbl. 1828 Nomor 16. Mereka dibagi atas dua golongan, yaitu ;
  1. yang dipidana kerja rantai
  2. yang dipidana kerja paksa
Yang terdiri atas yang diberi upah dan yang tidak diberi upah. Dalam prakteknya, pidana kerja paksa dikenakan dengan tiga cara :
  1. kerja paksa dengan dirantai dan pembuangan;
  2. kerja paksa dengan dirantai tetapi tidak dibuang;
  3. kerja paksa tanpa rantai tetapi dibuang
Dengan sendirinya semua peraturan terdahulu tidak berlaku lagi. KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa tersebut adalah salinan dari Code Penal yang berlaku di Negeri Belanda tetapi berbeda dari sumbemya tersebut, yang berlaku di Indonesia terdiri hanya atas 2 buku, sedangkan Code Penal terdiri atas 4 buku.
KUHP yang berlaku bagi golongan Bumiputra juga saduran dari KUHP yang berlaku bagi golongan Eropa, tetapi diberi sanksi yang lebih berat sampai pada KUHP 1918 pun, pidananya lebih
berat daripada KUHP Belanda 1886.
Oleh karena itu, perlu pula ditinjau secara sekilas lintas perkembangan kodifikasi di Negeni Belanda.
Pertama kali ada kodifikasi di bidang hukum pidana terjadi dengan adanya Crimineel Wetboek voor het Koninglijk Holland 1809.
Kitab undang-undang 1809 memuat ciri modern di dalamnya menurut Vos, yaitu :
  1. Pemberian kebebasan yang besar kepada hakim di dalam pemberian pidana;
  2. Ketentuan-ketentuan khusus untuk penjahat remaja
  3. Penghapusan perampasan umum.
Tetapi kodifikasi ini umurnya singkat, karena masuknya Perancis dengan Code Penalnya ke Negeri Belanda pada tahun 1811.
Sistem pidana di dalam Code Penal lain sekali jika disbanding dengan kodifikasi 1809. Diperkenalkan lagi perampasan umum. Dengan Gouv, Besluit 11 Desember 1813 diadakan beberapa perubahan misalnya tentang perampasan umum, tapi diperkenalkan lagi geseling, dan pelaksanaan pidana mati dengan cara Prancis guillotine diganti dengan penggantungan menurut sistem Belanda kuno.
Belanda terus berusaha mengadakan perubahamperubahan, juga usaha menciptakan KUHP nasional, tetapi tidak berhasil, kecuali perubaham perubahan sebagian-sebagian. Pidana sistem sel yang berlaku dengan Undang-Undang 28 Juni 1851 Stbl 68 diperluas dengan Undang-Undang 29 Juni 1854 Stbl 102, pidana badan dihapus, jumlah pidana mati dikurangi, sejumlah kejahatan dijadikan kejahatan ringan (wanbedriyf), pidana terhadap percobaan diperingan dibanding dengan delik selesai. Kemudian, 17 September 1870 Stbl 162 pidana mati dihapus.
Dengan KB tanggal 28 September 1870 dibentuklah Panitia Negara yang menyelesaikan rancangan pada tahun 1875. Pada tahun 1879 Menteri Smidt mengirim rancangan tersebut ke Tweede Kam er. Diperdebatkan di dalam Smren Genemal dengan Menteri Modderman yang sebelumnya adalah anggota Panitia Negara itu. Dan pada tanggal 3 Maret 1881 lahirlah KUHP Belanda yang baru, yang mulai berlaku pada tanggal 1 September 1886. Jarak antara disahkan dan berlakunya KUHP Belanda selama 5 tahun karena dengan sistem pidana sel perlu dibangun sel-sel dan gedung-gedung baru, di samping perlu diciptakan undang-undang baru seperti undang-undang kepenjaraan dan lain-lain.
Setelah berlakunya KUHP baru di Negeri Belanda pada tahun 1886 dipikirkanlah oleh Pemcrintah Belanda, bahwa KUHP di Hindia Belanda yaitu 1866 dan 1872 yang banyak persamaannya dengan Code Penal Prancis, perlu diganti dan disesuaikan dengan KUHP baru Belanda tcrsebut.
Bcrdasarkan asas konkordansi (conwrdazzticj menurut Pasal 75 Regerings Reglemenr, dan 131 Indische Staarsregeling, maka KUHP di Negeri Belanda harus diberlakukan pula di daerah jajahan seperti Hindia Belanda dengan penyesualan pada situasi dan kondisi setempat.
Scmula direncanakan tetap adanya dua KUHP, masing-masing untuk golongan Eropa dan golongan Bumiputcra. yang baru. Dengan Koninklijk Besluit tanggal 12 April 1898 dibentuklah Rancangan KUHP untuk golongan Eropa.
Setalah selesai kcdua rancangan tersebut. Menteri jajahan Belanda Mr Idenburg berpendapat bahwa sebaiknya hanya ada satu KUHP di Hindia Belanda, jadi berupa unifikasi.
Sesuai dengan ide Menteri Edinburg tersebut maka dibentuklah komisi yang mcnyelesaikan tugasnya pada tahun 1913. Dengan K.B tanggal 15 Oktober 1915 dan diundangkan pada September 1915 Nomor 732 lahirlah Wesboek van strafrecht vom Nederlandsch Indie yang baru untuk seluruh golongan penduduk. Dengan Ihvoeringsverordening berlakulah pada tanggal 1 J anuari 1918 WvSI tcrsebut.
Peralihan dari masa dualisme, yaitu dua macam WvS untuk dua golongan penduduk menurut Jonkers lebih bersifat formel dari pada matcriel. Ide unifikasi bukan hal yang baru. Statuta Betawi 1642 dan ketentuan pidana interimair 1848 berlaku untuk semua golongan penduduk. Sebenarnya kedua WvS 1866 dan 1872 terscbut juga hampir sama, yang kcdua mcrupakan salihan dari yang pertama kecuali sistem pidananya.
Tetapi perbedaan antara kedua golongan penduduk, yaitu golongan Eropa dan Bumiputera Timur Asing mewarnai juga perumusan-perumusan delik di dalam WvS tersebut, misalnya Pasal 284 (mukah = overspel) bagi laki-laki hanya berlaku bagi golongan Eropa (yang tunduk pada Pasal 27BW)
Jika uraian di atas menggambarkan sejarah hukum pidana masa kolonial Belanda secara umum. Supaya lebih jelas, saya akan menguraikan kembali sejarah hukum pidana masa kolonial Belanda dari tahap ke tahap dapat dilihat sebagai berikut :
  1. Masa Besluiten Regering (Tahun 1814-1855)
Setelah Inggris meninggalkan Nusantara pada tahun 1810, Belanda menduduki kembali wilayah Nusantara. Pada masa ini, peraturan terhadap koloni diserahkan kepada raja sepenuhnya sebagai penguasa mutlak, bukan kepada kongsi dagang sebagaimana terjadi pada masa VOC.
Dengan dasar Besluiten Regering, yaitu berdasarkan Pasal 36 UUD Negeri Belanda, raja mempunyai kekuasaan mutlak dan tertinggi atas daerah-daerah jajahan. Dengan demikian negara Belanda pada masa itu menggunakan sistem pemerintahan monarkhi konstitusional. Raja berkuasa mutlak, namun kekuasaannya diatur dalam sebuah konstitusi.
Untuk mengimplementasikannya, raja kemudian mengangkat komisaris jenderal yang ditugaskan untuk melaksanakan pemerintahan di Netherlands Indie (Hindia Belanda). Mereka adalah Elout, Buyskes, dan Van dr Capellen. Mereka tetap memberlakukan peraturan-peraturan yang yang berlaku pada masa Inggris dan tidak mengadakan perubahan peraturan karena menunggu terbentuknya kodifikasi hukum.
Dalam usaha untuk mengisi kekosongan kas negara, maka Gubernur Jendral Du bus de Gisignes menerapkan politik agraria dengan cara napi yang sedang menjalani hukuman dipaksakan untuk kerja paksa (dwang arbeid).
Dengan adanya keterangan ini maka praktis masa Besluiten Regering (BR) tidak memberlakukan hukum pidana baru. Namun demikian, beberapa peraturan perundang-undangan di luar hukum pidana ditetapkan pada masa ini, seperti Reglement op de Rechtilijke Organisatie (RO) atau Peraturan Organisasi Pengadilan (POP), Algemen Bepalingen van Wetgeving (AB) atau Ketentuan-ketentuan Umum tentang Perundang-undangan, Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Wetboek van Koopenhandel (WvK) atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, dan Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (RV) atau Peraturan tentang Acara Perdata.2. Masa Regering Reglement (1855-1926)
Masa Regering Reglement dimulai karena adanya perubahan sistem pemerintahan di negara Belanda, dari monarkhi konstitusional menjadi monarkhi parlementer. Perubahan ini terjadi pada tahun 1848 dengan adanya perubahan dalam Grond Wet (UUD) Belanda.
Perubahan ini mengakibatkan terjadinya pengurangan kekuasaan raja, karena parlemen (Staten Generaal) mulai campur tangan dalam pemerintahan dan perundang-undangan di wilayah jajahan negara Belanda.
Perubahan penting ini adalah dicantumkannya Pasal 59 ayat (1), (2), dan (4) yang berisi bahwa "Raja mempunyai kekuasaan tertinggi atas daerah jajahan dan harta kerajaan di bagian dari dunia. Aturan tentang kebijakan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang.
Sistem keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau diperlukan akan diatur dengan undang-undang". Dengan ketentuan seperti ini tampak jelas bahwa kekuasaan raja Belanda terhadap daerah jajahan di Indonesia berkurang.
Peraturan peraturan yang menata daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan raja dengan Koninklijk Besluit, namun harus melalui mekanisme perundang-undangan di tingkat parlemen. Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dan parlemen untuk mengatur pemerintahan negara jajahan adalah Regeling Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang dan diundangkan dengan Staatblad No. 2 Tahun 1855.
Selanjutnya RR disebut sebagai UUD Pemerintah Jajahan Belanda. Pada masa berlakunya Regeling Reglement ini, beberapa kodifikasi hukum pidana berhasil diundangkan, yaitu:
  1. Wetboek van Strafrecht voor Europeanen atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa yang diundangkan dengan Staatblad No. 55 Tahun 1866.
  2. Algemene Politie Strafreglement atau tambahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Eropa.
  3. Wetboek van Strafrecht voor Inlander atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pribumi yang diundangkan denbgan Staatblad No. 85 Tahun 1872.
  4. Politie Strafreglement bagi orang bukan Eropa.
  5. Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana Hindia Belanda yang diundangkan dengan Staatblad No. 732 Tahun 1915 dan mulai berlaku 1 Januari 1918.

    3. Masa Indische Staatregeling (1926-1942)
Indische Staatregeling (IS) adalah pembaharuan dari Regeling Reglement (RR) yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1926 dengan diundangkan melaui Staatblad Nomor 415 Tahun 1925.
Perubahan ini diakibatkan oleh perubahan pemerintahan Hindia Belanda yang berawal dari perubahan Grond Wet negera Belanda pada tahun 1922. Perubahan Grond Wet tahun 1922 ini mengakibatkan perubahan pada pemerintahan di Hindia Belanda. Berdasarkan Pasal 61 ayat (1) dan (2) IS, susunan negara Hindia Belanda akan ditentukan dengan undang-undang.
Pada masa ini, keberadaan sistem hukum di Indonesia semakin jelas khususnya dalam Pasal 131 jo. Pasal 163 IS yang menyebutkan pembagian golongan penduduk Indonesia beserta hukum yang berlaku.
Dengan dasar ini maka hukum pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht voor Netherlands-Indie) tetap diberlakukan kepada seluruh penduduk Indonesia. Pasal 131 jo. Pasal 163 Indische Staatregeling ini mempertegas pemberlakuan hukum pidana Belanda semenjak diberlakukan 1 Januari 1918.
3. Zaman Pendudukan Jepang
Pada masa pendudukan Jepang selama 3,5 tahun, pada hakekatnya hukum pidana yang berlaku di wilayah Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pemerintahan bala tentara Jepang (Dai Nippon) memberlakukan kembali peraturan jaman Belanda dahulu dengan dasar Gun Seirei melalui Osamu Seirei.
Pertama kali, pemerintahan militer Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 1 Tahun 1942. Pasal 3 undang-undang tersebut menyebutkan bahwa semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asalkan tidak bertentangan dengan pemerintahan militer.
Dengan dasar ini maka dapat diketahui bahwa hukum yang mengatur pemerintahan dan lain-lain, termasuk hukum pidananya, masih tetap menggunakan hukum pidana Belanda yang didasarkan pada Pasal 131 jo. Psal 163 Indische Staatregeling.
Dengan demikian, hukum pidana yang diberlakukan bagi semua golongan penduduk sama yang ditentukan dalam Pasal 131 Indische Staatregeling, dan golongan-golongan penduduk yang ada dalam Pasal 163 Indische Staatregeling.
Untuk melengkapi hukum pidana yang telah ada sebelumnya, pemerintahan militer Jepang di Indonesia mengeluarkan Gun Seirei nomor istimewa 1942, Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 dan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942. Gun Seirei Nomor istimewa Tahun 1942 dan Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 berisi tentang hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.
WvSI tetap berlaku pada zaman pendudukan Jepang. Hal ini didasarkan pada undang-undang (Osama Serei} Nomor 1 Tahun 1942 yang mulai berlaku pada tanggal 7 Maret 1942 sebagai peraturan peralihan Jawa dan Madura.
Pasal 3 Osamu Serei tersebut berbunyi:
"Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum undang-undang dan pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer."
Jadi, hanya pasal-pasal yang menyangkut pemerintah Belanda, misalnya penyebutan raja/ratu yang tidak berlaku lagi. Peraturan yang semacam dikeluarkan juga di luar Jawa dan Madura.
Dibanding dengan hukum pidana materiel, maka hukum acara pidana lebih banyak berubah, karena terjadi uninikasi acara dan susunan pengadilan. Ini diatur di dalam Osamu Serei Nomor 3 Tahun 1942 tanggal 20 September 1942.
Sedangkan Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur tentang pengadilan di Hindia Belanda.
Pada masa ini, Indonesia telah mengenal dualisme hukum pidana karena wilayah Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian wilayah dengan penguasa militer yang tidak saling membawahi.
Wilayah Indonesia timur di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang yang berkedudukan di Makasar, dan wilayah Indonesia barat di bawah kekuasaan Angkatan Darat Jepang yang berkedudukan di Jakarta.
Akibatnya, dalam berbagai hal terdapat perbedaan peraturan yang berlaku di masing-masing wilayah.
BAB III
HUKUM PIDANA PASCA KEMERDEKAAN
Pasca Kemerdekaan
Keadaan pada zaman pendudukan Jepang dipertahankan sesudah proklamasi kemerdekaan. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 mengatakan :
"Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini."
Untuk memperkuat aturan peralihan tersebut, maka Presidcn mengeluarkan suatu peraturan pada tanggal 10 Oktober 1945 yang disebut Peraturan Nomor 2 yang berbunyi :
"Untu1 ketertiban masyarakat berdasar atas Auturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV Kami Presiden menetapkan peraturan sebagai berikut ;
Pasal I
"Sega1a badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut."
Pasal II
"Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945."
Barulah dengan Undang—Undang Nomor 1 Tahun 1946 diadakan perubahan yang mendasar atas WvSI.
Ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tersebut bahwa hukum pidana yang berlaku sekarang (mulai 1946) iaiah hukum pidana yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 dengan pelbagai perubahan dan penambahan yang disesuaikan dengan keadaan Negara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan nama Wetboek van Srrafrecht mor Nederlandsch Indie diubah menjadi Wetboek van Strufrechz yang dapat disebut Kitab Undang - Undang Hukum Pidana (KUHP).
Perubahan-perubahan yang diciptakan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 terhadap Wetboek van Strafrecht 8 Maret Tahun 1942 (saat mulai pendudukan Jepang) ia1ah :
  1. Pasal V yang menentukan bahwa peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagaj negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku.
  2. Pasal VI mengubah dengan resmi nama Wetbcek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Stmfrecht (saja) yang dapat disebut juga dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  3. Pasal VIII membuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal KUHP itu sebanyak 68 ketentuan.
  4. Diciptakan delik-delik baru yang dimuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI, tetapi kemudian dengan Undang Undang Nomor 78 Tahun 1958 Pasal XVI tersebut dicabut.
Tentulah harus diingat bahwa teks asli Wetboek van Shafrecht atau KUHP itu sampai kinipun masih di dalam bahasa Belanda, kecuali penambahan-penambahan kemudian sesudah tahun 1946 itu yang teksnya sudah tentu dalam bahasa Indonesia.
Jadi, apa yang sering dipegang oleh pelaksana hukum (hakim,iaksa, polisi dan pengacara) adalah terjemahan di dalam bahasa Indonesia, yang corak ragamnya tergantung pada selera penerjemah dan saat penerjemahan sama halnya dengan yang dipakai oleh para dosen dan mahasiswa hukum.
Sebagai sejarah perlu diingat, bahwa Belanda pada tahun 1945 sampai dengan 1949 kembali lagi ke Indonesia menduduki beberapa wilayah, dan bertambah luas sesudah Aksi Militer I, terutama meliputi kota-kota besar di Jawa dan Sumatera, seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, Palembang, Padang dan Medan dan seluruh Nusatenggara, Sulawesi, Kalimantan, Maluku dan Irian Barat.
Untuk wilayah-wilayah yang diduduki Belanda itu de Facro tidak diberlakukan Undang-Undang Nomor I Tahun 1946, kecuali untuk wilayah Sumatera yang diduduki oleh Belanda sesudah Aksi Militer I, ditetapkan bahwa peraturan lama masih tetap berlaku (peraturan RI).
Untuk daerah daerah yang diduduki oleh Belanda tersebut diberlakukan Wetboek van strafrechr voor Nederlandsch Indie yang kemudian diubah namanya menjadi Wetboek van Strafrecht voor Indonesie berdasarkan Ordonansi tanggal 21 September 1948.
Stbl 1948 Nomor 224, mulai berlaku 22 September 1948, dan semua kata-kata Nederlandsch — Indie di dalam WvS tersebut diganti dengan "Indonesie". Begitu pula istilah Staatsblad van Nederlandsch Indie (Lembaran Negara Hindia Belanda) diganti menjadi Staatsblad van Indonesie.
Kalau Pemerintah Republik Indonesia mengubah dan menambah Wetboek van Strafrecht, maka Belanda juga mengadakan perubahan-perubahan di dalam Wetboek van Strafrecht voor Indonesie tersebut.
Perubahan-perubahan dan penambahan mula-mula dengan Stbl 1945 Nomor 123 yang mulai berlaku 25 Agustus 1945 yaitu ketentuan khusus baru dikeluarkan oleh Letnan Gubemur Jende ral mengenai eksekusi. pidana mati, yang menentukan bahwa pidana mati dieksekusi dengan jalan ditembak, kecuali ditentukan lain oleh Gubernur Jenderal. Dengan demikian, Pasal ll WvS1 yang menentukan bahwa pidana mati dijalankan dengan penggantungan tidak diterapkan.
Dengan Stbl 1945 Nomor 135 yang mulai berlaku 7 Oktober1945, banyak ketentuan Bab `I Buku 1I WvS1 di ubah oleh Belanda (Pasal110,112,113,115,116,117,1l8,119, 120,122,123,124, 125, 126 dan 127) dan diciptakan pasa.1 baru, yaitu Pasal 124 bis dan bab baru di dalam Buku III, yaitu Bab IX. Dengan penambahan ini, maka jumlah pasal di dalam WvSI berakhir dengan angka (Pasal) 570, sedangkan KUHP hanya 569.
Dengan adanya dua macam WvS yang berlaku di dua macam wilayah yang berbeda ditambah dengan perubahan-perubahan dan penambahan yang berbeda pula menimbulkan kerancuan dalam penerapannya kemudian. Terlebih-lebih dengan perubahan wilayah, yang dengan aksi militer I, menambah wilayah yang diduduki Belanda, yang dengan Perjanjian Renville 17 Januari 1948 disebut daerah-daerah terra neerlundica.
Sesudah Aksi Militer I, dikeluarkan Stbl 1947 Nomor 180 yang mulai berlaku 31 Oktober 1947, yaitu suatu ketentuan yang merevisi Pasal 171.
Dengan Stbl 1948 Nomor 169 yang mulai berlaku 30 Juli 1948 dicabutlah Pasal 153 bis dan 154 ter dan penambahan pasal-pasal baru, yaitu Pasal 159a dan 159b dan paragraf baru yang memuat Pasal 335.
Pasal 153 bis dan Pasal 154 ter yang dicabut itu berisi ketentuan sanksi pidana terhadap perbuatan propaganda tuntutan "Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda". Tetapi pasal baru yang menggantikannya, yaitu Pasal 159 a dan 159 b pada asasnya sama saja dengan yang dicabut itu.
Dengan keputusan 3 Januari 1947 Nomor 1, yang dikeluarkan oleh Wakil Tinggi Mahkota, Stbl 1949 Nomor 1, mulai berlaku 7 Januari 1949, ancaman pidana delik penyuapan yang tercantum dalam Pasal 418 WvSI dinaikkan dari enam bulan menjadi 3 tahun. Kemudian dengan keputusan Nomor 3 tanggal 22 September 1949, Stb1 1949 Nomor 238 yang mulai berlaku 28 September 1949, maka Pasal 393 bis dan 394 WvSI diubah.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958, maka hilanglah dualisme berlakunya dua macam undang-undang hukum pidana di Indonesia.
Tetapi menurut Han Bing Siong, masih terdapat beberapa masalah, yang penulis angkat dua di antara yang dikemukakan nya, yaitu:
  1. Masalah ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP, yang menentukan bahwa jika terjadi perubahan perundangundangan sesudah per buatan dilakukan, maka terhadap terdakwa dikenakan ketentuan yang paling menguntungkannya. Oleh karena ada perbedaan antara kedua macam WvS, misalnya Pasal 418 ancaman pidananya didalam WVSI adalah tiga tahun, sedangkan di dalam WvS (KUHP) hanya enam bulan, maka jika suatu perbuatan dilakukan di daerah Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur sebelum 29 September 1958 (mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958) dan diadili sesudah undang-undang ter sebut keluar, terjadilah masalah Pasal 1 ayat 2 tersebut, karena menurut KUHP (berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946) ancaman pidananya hanya enam bulan.
  2. Pasal 512 a ditambahkan oleh Undang—Undang Nomor 8 Tahun 1951, sedangkan Pasal 24.1 sub 1 dan Pasal 527 dicabut oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1955 (Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi), maka menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Pasal 51221 dihapuskan lagi di Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur pada tanggal 28 September 1958 (saat berlakunya Undang-Undang Nomor 73Tahun 1958), sebaliknya Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527 dihidupkan kembali sebagaimana keadaannya pada 8 Maret 1942. Judi, kata Han Bing Siong meskipun hanya ada satu KUHP yang berlaku untuk selumh Indonesia, tetap ada beberapa perbedaan yang tertinggal. Ada satu KUHP katanya dengan Pasal 512 a dan tanpa Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527 di Jawa, Madura dan Sumatera, kecuali Jakarta Raya, dan Sumatera Timur, satu lagi tanpa Pusal 512 a tetapi dengan Pasal 241 sub 1 dan Pasal 527 di Jakarta Raya, Sumatera Utara, Kalimantan dan Indonesia Timur. Lalu untuk daerahdaerah yang tersebut belakangan tidak berlakuUndang-Undang Nomor 8 (drt) Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Imigrasi)
Menurut pendapat penuljs, pendapat Han Bing Siong ini benar, tetapi terlalu berpatok pada pemikiran yuridis murni. Dalam praktek sampai kini Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi tersebut diberlakukan di seluruh Indonesia.
BAB IV
HUKUM PIDANA NASIONAL
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yakni mengenai bab tentang sejarah hukum pidana Indonesia pasca kemerdekaan. Sekarang saya akan menguraikan kembali tahap demi tahap sejarah hukum nasioal Indonesia
  1. Tahun 1945-1949
Seperti yang telah dijelaskan di atas, dengan diproklamirkannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bebas dan berdaulat.
Selain itu, proklamasi kemerdekaan dijadikan tonggak awal mendobrak sistem hukum kolonial menjadi sistem hukum nasional yang sesuai dengan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bebas dalam menentukan nasibnya, mengatur negaranya, dan menetapkan tata hukumnya. Konstitusi yang menjadi dasar dalam penyelenggaraan negara kemudian ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945. Konstitusi itu adalah Undang Undang Dasar 1945.
Mewujudkan cita-cita bahwa proklamasi adalah awal pendobrakan sistem tata hukum kolonial menjadi sistem tata hukum nasional bukanlah hal yang mudah dan secara cepat dapat diwujudkan. Ini berarti bahwa membentuk sistem tata hukum nasional perlu pembicaraan yang lebih matang dan membutuhkan waktu yang lebih lama dari pada sekedar memproklamirkan diri sebagai bangsa yang merdeka.
Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan hukum (rechts vacuum) karena hukum nasional belum dapat diwujudkan, maka UUD 1945 mengamanatkan dalam Pasal II Aturan Peralihan agar segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang - Undang Dasar ini.
Ketentuan ini menjelaskan bahwa hukum yang dikehendaki untuk mengatur penyelenggaraan negara adalah peraturan peraturan yang telah ada dan berlaku sejak masa Indonesia belum merdeka. Sambil menunggu adanya tata hukum nasional yang baru, segala peraturan hukum yang telah diterapkan di Indonesia sebelum kemerdekaan diberlakukan sementara.
Hal ini juga berarti funding fathers bangsa Indonesia mengamanatkan kepada generasi penerusnya untuk memperbaharui tata hukum kolonial menjadi tata hukum nasional.
2. Tahun 1949-1950
Tahun 1949-1950 negara Indonesia menjadi negara serikat, sebagai konsekuensi atas syarat pengakuan kemerdekaan dari negara Belanda. Dengan perubahan bentuk negara ini, maka UUD 1945 tidak berlaku lagi dan diganti dengan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Sebagai aturan peralihannya, Pasal 192 Konstitusi RIS menyebutkan
Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha yang sudah ada pada saat Konstitusi ini mulai berlaku, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketntuan Republik Indonesia Serikat sendiri, selama dan sekadar peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuanketentuan tata usaha atas kuasa Konstitusi ini.
Dengan adanya ketentuan ini maka praktis hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan dahulu, yaitu Wetboek van Strafrecht yang berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut sebagai Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Namun demikian, permasalahan dualisme KUHP yang muncul setelah Belanda datang kembali ke Indonesia setelah kemerdekaan masih tetap berlangsung pada masa ini.
3. Tahun 1950-1959
Setelah negara Indonesia menjadi negara yang berbentuk negara serikat selama 7 bulan 16 hari, sebagai trik politik agar Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, maka pada tanggal 17 Agustus 1950 Indonesia kembali menjadi negara republik-kesatuan.
Dengan perubahan ini, maka konstitusi yang berlaku pun berubah yakni diganti dengan UUD Sementara. Sebagai peraturan peralihan yang tetap memberlakukan hukum pidana masa sebelumnya pada masa UUD Sementara ini, Pasal 142 UUD Sementara menyebutkan :
"Peraturan-peraturan undang-undang dan ketentuan-ketentuan tatausaha yang sudah ada pada tanggal 17 Agustus 1050, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuanketntuan Republik Indonesia sendiri, selama dan sekedar peraturanperaturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini".
Dengan adanya ketentuan Pasal 142 UUD Sementara ini maka hukum pidana yang berlaku pun masih tetap sama dengan masa-masa sebelumnya, yaitu Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang undang Hukum Pidana).
Namun demikian, permasalahan dualime KUHP yang muncul pada tahun 1945 sampai akhir masa berlakunya UUD Sementara ini diselesaikan dengan dikeluarkannya UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-undang Hukum Pidana. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dinyatakan : "Adalah dirasakan sangat ganjil bahwa hingga kini di Indonesia masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut UU Nomor 1 Tahun 1946 dan Wetboek Strafrecht voor Indonesia (Staatblad 1915 Nomor 732 seperti beberapa kali diubah), yang sama sekali tidak beralasan. Dengan adanya undang-undang ini maka keganjilan itu ditiadakan. Dalam Pasal 1 ditentukan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia."
Dengan demikian, permasalahan dualisme KUHP yang diberlakukan di Indonesia dianggap telah selesai dengan ketetapan bahwa UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia.
4. Tahun 1959-sekarang
Setelah keluarnya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, yang salah satunya berisi mengenai berlakunya kembali UUD 1945, maka sejak itu Indonesia menjadi negara kesatuan yang berbentuk republik dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya.
Oleh karena itu, Pasal II Aturan Peralihan yang memberlakukan kembali aturan lama berlaku kembali, termasuk di sini hukum pidananya. Pemberlakuan hukum pidana Indonesia dengan dasar UU Nomor 1 Tahun 1946 pun kemudian berlanjut sampai sekarang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa walaupun Indonesia telah mengalami empat pergantian mengenai bentuk negara dan konstitusi, ternyata sumber utama hukum pidana tidak mengalami perubahan, yaitu tetap pada Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-undang Hukum Pidana) walaupun pemberlakuannya tetap mendasarkan diri pada ketentuan peralihan pada masing-masing konstitusi.
Pada era sekarang ini, baik sejak zaman orde lama, orde baru maupun Reformasi. Hukum pidana nasional kita mulai mengalami perubahan, namun sayangnya perubahan itu hannya sebagian kecil saja. Misalnya dengan dicabutnya beberapa pasal tertentu dalam KUHP karena terdapat UU Pidana yang lebih khusus atau juga keputusan Mahkamah Kostitusi untuk mencabut pasal tertentu karena bertentangan dengan Undang-Udang Dasar yang bersifat lex superiori.
Namun sayangnya perubahan-perubahan pada hukum pidana kita hanya sebagian kecil saja, itupun merupakan hasil de penalisasi / de kriminalisasi. Sampai sekarang Rancangan KUHP kita belum saja disahkan oleh lembaga legislatif.
Walaupun sejak dahulu telah dibuat dan beberapa kali bergatian pembuatnya tetap saja belum disahkan entah apa alasannya. KUHP yang kita gunakan sekarang ini di negara asalnya yaitu Belanda telah dimusiumkan. Apakah kita tidak malu ?.
Sudah seharusnya kita sebagai negara berdaulat memiliki hukum yang benar-benar asli buatan bangsa Indonesia, agar sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat Indonesia.
BAB IV
RANCANGAN KUHP BARU
Pada bab yang terakhir ini, saya akan coba menguraikan pendapat beberapa pakar hukum pidana tentang Rancangan KUHP Indonesia, yang bertujuan sebagai pembaharuan hukum pidana nasional Indonesia.
  1. DR. Andi Hamzah, S.H.
Hasrat untuk mengadakan kodiiikasi KUHP nasional yang disusun oleh putera-putera Indonesia sendiri yang sumbernya digali dan bumi Indonesia dengan memperhatikan perkembangan dunia modem di bidang hukum pidana, sudah lama dicetuskan di dalam pelbagai kesempatan termasuk Seminar Hukum Nasional.
Usaha-usaha konkret menuju tercapainya hasrat tersebut antara lain dapat dikemukakan usaha Basaruddin S.H. dan Iskandar Situmoiang, S.H. yang menyusun Rancangan Buku I KUHP pada Tahun 1971 dan Buku II KUHP pada Tahun 1976.
Kamudian, sejak tahun 1979 telah dibentuk Tim Pengkajian Hukum Pidana, yang diberikan tugas mcnyusun Rancangan KUHP baru oleh Pemerintah (Menteri Kehakiman dalam hal ini Badan Pembinaan Hukum Nasional).
Pada tahun itu disusunlah materi-materi yang diperlukan untuk tujuan tcrsebut. Tahun 1980-1981 mulailah disusun Rancangan Buku I yang antara lain juga mcmakai KUHP (lama) dan Rancangan Basaruddin dan rekan sebagai bahan perbandingan.
Tahun 1981-1982 konsep Rancangan Buku I telah diselcsai kan dalam arti masih kasar. Pada tahun 1982 itu diadakanlah Lokakarya di BABINKUMNAS membahas Rancangan tersebut. Sesudah itu, terus-mencrus Tim berkumpul untuk memperhalus rumusan Rancangan Buku I tersebut dan menyusun Rancangan Buku II sampai Tahun 1985. Pada Tahun 1985 itu diadakanlah Lokakarya lagi di tempat yang sama untuk membahas Buku II.
Pada Tahun 1986 diadakan Lokakarya khusus mcngenai sanksi pidana di tempat yang sama. Dan terakhir Lokakarya mengenai delik komputer dan delik terhadap penyelenggaraan peradilan.
Menurut pcndapat penulis, dapat dikatakan bahwa pada saat tulisan ini disusun (Mei 1991), 99% pekcrjaan menyusun Rancangan Buku I KUHP telah selesai dan 80% pekerjaan menyusun Buku II KUHP telah dicapai pula.
Perbedaan yang mcncolok antara Rancangan dan KUHP (lama) ialah Rancangan hanya tcrdiri atas dua buku, sedangkan KUHP (lama) yang samq dengan WvS Belanda tcrdiri atas tiga buku. Dengan sendirinya perbedaan antara delik kejahatan dan delik pelangaran di dalam Rancangan telah ditiadakan.
Jadi, sama dengan KUHP Jcrman, Jepang, Korea dan lain-lain. Tetapi matcri Buku II 95% sama dengan KUHP lama dan WvS Belanda.
2. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.
Pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya merupakan suatu upaya melakukan peninjauan dan pembentukan kembali (reorientasi dan reformasi) hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Selain itu Bahkan harus disertai pula dengan pembaharuan budaya hukum masyarakat (legal culture reform) dan pembaharuan struktur atau perangkat hukumnya (legal structure reform).
Pembaharuan hukum pidana meliputi pembaharuan dalam bidang struktur, kultur dan materi hukum. Di samping itu, tidak ada artinya hukum pidana (KUHP) diganti/diperbaharui, apabila tidak dipersiapkan atau tidak disertai dengan perubahan ilmu hukum pidananya.
Dengan kata lain criminal law reform atau legal substance reform harus disertai pula dengan pembaharuan ilmu pengetahuan tentang hukum pidananya (legal/criminal science reform).
Penggalian nilai-nilai yang ada dalam bangsa Indonesia dalam usaha pembaharuan hukum pidana Indonesia harus dilakukan agar hukum pidana Indonesia masa depan sesuai dengan sosio-politik, sosio-filosofik, dan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia.
Pada pelaksanaannya, penggalian nilai ini bersumber pada hukum adat, hukum pidana positif (KUHP), hukum agama, hukum pidana negara lain, serta kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai materi hukum pidana.
3. Prof. H. Soedarto, S.H.
Alasan yang mendasari perlunya pembaharuan hukum pidana nasional adalah sebagai berikut :
  1. Alasan yang bersifat politik
Adalah wajar bahwa negara Republik Indonesia yang merdeka memiliki KUHP yang bersifat nasional, yang dihasilkan sendiri. Ini merupakan kebanggaan nasional yang inherent dengan kedudukan sebagai negara yang telah melepaskan diri dari penjajahan.
Oleh karena itu, tugas dari pembentuk undang-undang adalah menasionalkan semua peraturan perundangundangan warisan kolonial, dan ini harus didasarkan kepada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
2. Alasan yang bersifat sosiologis
Suatu KUHP pada dasarnya adalah pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan dari suatu bangsa, karena ia memuat perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki dan mengikatkan pada perbuatan-perbuatan itu suatu sanksi yang bersifat negatif berupa pidana.
Ukuran untuk menentukan perbuatan mana yang dilarang itu tentunya bergantung pada pandangan kolektif yang terdapat dalam masyarakat tentangn apa yang baik, yang benar dan sebaliknya.
3. Alasan yang bersifat praktis
Teks resmi WvS adalah berbahasa Belanda meskipun menurut Undangundang Nomor 1 Tahun 1946 dapat disebut secara resmi sebagai KUHP. Dapat diperhatikan bahwa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing semakin sedikit.
Di lain pihak, terdapat berbagai ragam terjemahan KUHP yang beredar. Sehingga dapat dimungkinkan akan terjadi penafsiran yang menyimpang dari teks aslinya yang disebabkan karena terjemahan yang kurang tepat.
Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh itu harus meliputi pembaharuan hukum pidana material, hukum pidana formal dan hukum pelaksanaan pidana.
Dengan demikian pembaharuan KUHP hanya berarti pembaharuan materi hukum pidana. Jika ditinjau dari segi ilmu hukum pidana, pembaharuan KUHP (materi hukum pidana) dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, pembaharuan dengan cara parsial, yakni dengan cara mengganti bagian demi bagian dari kodifikasi hukum pidana. Dan kedua, pembaharuan dengan cara universal, total atau menyeluruh, yaitu pembaharuan dengan mengganti total kodifikasi hukum pidana.
Pembaharuan KUHP secara parsial/tambal sulam yang pernah dilakukan Indonesia adalah dengan beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu:
1. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (merubah nama WvSNI menjadi WvS/KUHP, perubahan beberapa pasal dan krimininalisasi delik pemalsuan uang dan kabar bohong).
2. UU Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan (menambah jenis pidana pokok berupa pidana tutupan).
3. UU Nomor 8 Tahun 1951 tentang Penangguhan Pemberian Surat Izin kepada Dokter dan Dokter Gigi (menambah kejahatan praktek dokter).
4. UU Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah RI dan Mengubah KUH Pidana (menambah kejahatan terhadap bendera RI).
5. UU Nomor 1 Tahun 1960 tentang Perubahan KUHP (memperberat ancaman pidana Pasal 359, 360, dan memperingan ancaman pidana Pasal 188).
6. UU Nomor 16 Prp Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan dalam KUHP (merubah vijf en twintig gulden dalam beberapa pasal menjadi dua ratus lima puluh rupiah).
7. UU Nomor 18 Prp Tahun 1960 tentang Perubahan Jumlah Hukuman Denda dalam KUHP dan dalam Ketentuan-ketentuan Pidana lainnya yang dikeluarkan sebelum tanggal 17 Agustus 1945 (hukuman denda dibaca dalam mata uang rupiah dan dilipatkan lima belas kali).
8. UU Nomor 1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama (penambahan Pasal 156a).
9. UU Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian (memperberat ancaman pidana bagi perjudian (Pasal 303 ayat (1) dan Pasal 542) dan memasukkannya Pasal 542 menjadi jenis kejahatan (Pasal 303 bis)).
10 UU Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam KUHP Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan (memperluas ketentuan berlakunya hukum pidana menurut tempat (Pasal 3 dan 4), penambahan Pasal 95a, 95b, dan 95c serta menambah Bab XXIX A tentang Kejahatan Penerbangan).
11. UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara (menambah kejahatan terhadap keamanan negara Pasal 107 a-f).
Sedangkan usaha pembaharuan KUHP secara menyeluruh/total dimulai dengan adanya rekomendasi hasil Seminar Hukum Nasional I, pada tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta yang menyerukan agar rancangan kodifikasi hukum pidana nasional secepat mungkin diselesaikan.
Kemudian pada tahun 1964 dikeluarkan Konsep KUHP pertama kali, diikuti dengan Konsep KUHP 1968, 1971/1972, Konsep Basaroedin (Konsep BAS) 1977, Konsep 1979, Konsep 1982/1983, Konsep 1984/1985, Konsep 1986/1987, Konsep 1987/1988, Konsep 1989/1990, Konsep 1991/1992 yang direvisi sampai 1997/1998.
Terakhir kali Konsep/Rancangan KUHP dikeluarkan oleh Departemen Hukum dan Perundangundangan RI pada tahun 1999/2000. Rancangan KUHP 1999/2000 ini telah masuk di DPR RI untuk dibahas dan disahkan.
Selanjutnya, mengkaji Rancangan KUHP secara total dan komprehensif jelas membutuhkan waktu dan tenaga pemikiran yang ekstra keras. Dilihat dari segi pembuatannya saja, para pakar hukum di Indonesia telah membuat Rancangan KUHP sebanyak 12 kali (termasuk revisinya) selama 39 tahun (sejak tahun 1964 s.d. 2000). Pasal-pasal dalam konsep terakhir tahun 2000 juga membengkak menjadi 647 pasal. Sedangkan KUHP sekarang (WvS) "hanya" berjumlah 569 pasal.
4. Prof. Dr. Muladi, S.H
Perkembangan hukum pidana nasional sampai saat ini mengikuti pelbagai pendekatan (reform approach) sebagai berikut :
  1. Pendekatan evolusioner melalui pelbagai amandemen pasal-pasal tertentu baik yang berupa kriminalisasi (misalnya Pasal 156a KUHP Jo. UU No. 1 Tahun 1965 ) maupun dekriminalisasi sebagai konsekuensi Pasal V UU No. 1 Tahun 1946);
  2. Pendekatan semi-global dengan munculnya pelbagai tindak pidana khusus di luar KUHP seperti UU Tindak Pidana Korupsi, UU tentang Pencucian Uang, Tindak Pidana Terorisme dan sebagainya, mengingat kekhususan-kekhususan pengaturan baik di bidang hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil;
  3. Pendekatan kompromi, dengan pengaturan suatu Bab baru dalam KUHP akibat ratifikasi konvensi internasional yang signifikan (misalnya Bab XXIX A KUHP Jo. UU No. 4 Tahun 1976 sebagai konsekuensi ratifikasi terhadap Konvensi-konvensi Montreal, Tokyo dan Konvensi The Haque tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap Sarana Penerbangan) ;
  4. Pendekatan komplementer dengan munculnya hukum pidana administrative (administrative penal law) di mana sanksi hukum pidana digunakan untuk memperkuat sanksi hukum administrasi (UU Pers, UU tentang HAKI, UU Perlindungan Konsumen dan sebagainya).
Sepanjang berkaitan dengan RUU KUHP baru pendekatan yang dilakukan adalah bersifat menyeluruh dan bukan bersifat 'amandemen' dengan maksud untuk menggantikan WvS warisan Belanda dengan KUHP Nasional, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan global (global approach), yang tidak mungkin bisa difahami secara sepotong-sepotong (fragmented) seperti yang tersirat dalam polemik di masyarakat akhir-akhir ini.
Usaha ini sudah berlangsing lebih dari 40 tahun (1963) semenjak Seminar Hukum Nasional I di Semarang yang dimotori oleh BPHN Departemen Kehakiman.. Tokoh-tokohnya seperti Prof. Oemar Senoadji, Prof. Sudarto, Prof Ruslan Saleh bahkan sudah wafat.
Karakteristik pendekatan global ini nampak terutama dalam pengaturan-pengaturan yang mendasar, baik yang berkaitan dengan asas-asas hukum pidana (criminal law principles) sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP, maupun dalam pengaturan 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana yaitu pengaturan tentang pelbagai perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act), pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan pengaturan tentang sanksi baik yang berupa pidana (punishment, straf) maupun tindakan (treartment, maatregel).
Mengutip pendapat salah satu anggauta Tim Perancang Prof. Dr. Barda Nawawi Arif, SH, maka asas-asas dan system hokum pidana nasional dalam Konsep RUU KUHP disusun berdasarkan 'ide keseimbangan' yang mencakup :
  • keseimbangan monodualistik antara 'kepentingan umum/masyarakat' dan 'kepentingan individu/perseorangan';
  • keseimbangan ide perlindungan/kepentingan korban dan ide individualisasi pidanal
  • keseimbangan antara unsure/factor 'obyektif' (perbuatan/lahiriah) dan 'subyejtif' (orang/batiniah/sikap batin); ide 'daad-dader strafrecht';
  • keseinbangan antara criteria 'formal' dan 'material'';
  • keseimbangan antara 'kepastian hukum', 'kelenturan /elastisitas/ fleksibilitas' dan 'keadilan';
  • keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/ internasional/ universal.
Dalam merumuskan RUU KUHP para pakar yang terlibat telah berusaha menyerap aspirasi.yang bersifat multidimensional baik yang berasal dari elemen-elemen suprastruktural, infrastruktural, akademis maupun aspirasi internasional dalam bentuk pengkajian terhadap pelbagai kecenderungan internasional dan pelbagai KUHP dari seluruh keluarga hukum (Anglo Saxon, Kontinental, Timur Tengah, Timur Jauh dan Sosialis). Namun demikian selalu tidak dilupakan aspirasi yang berasal dari budaya bangsa (elemen partikularistik);
Sepanjang mengenai Asas-asas Hukum Pidana yang diatur dalam Buku I, beberapa hal yang perlu digarisbawahi adalah sebagai berikut :
  1. Nuansa HAM dalam rangka menciptakan hukum pidana yang manusiawi
    (humanitarian criminal law) sangat menonjol, baik untuk kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku maupun kepentingan korban kejahatan. Sifat hukum pidana yang semula merupakan hukum pidana perbuatan (Daadstrafrecht) (WvS) yang dipengaruhi Aliran Klassik setelah Revolusi Perancis disempurnakan menjadi hukum pidana yang juga berorientasi pada pelaku, atas dasar pengaruh Aliran Modern/ Aliran Neo-Klassik (Daad-daderstrafrecht); Pidana yang semula semata-mata bertujuan untuk pembalasan (retribution) ditujukan kearah yang lebih bermanfaat (lihat Butir 9 di bawah);
  2. Dalam kaitannya dengan Butir 1 di atas, sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak, maka secara khusus diatur tentang ' Pidana dan Tindakan Bagi Anak' dalam Bab tersendiri (Bab Keempat, Pasal 106 s/d Pasal 123 RUU). Dalam Pasal 106 RUU juga ditegaskan batas minimum umum pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal responsibility) yaitu 12 tahun;
  3. Korban kejahatan (victim of crime) juga memperoleh perhatian, khususnya antara lain pada pengaturan tentang pedoman penjatuhan pidana (sentencing guidelines) dan jenis sanksi pidana (strafsoort) (Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1) huruf I RUU;
  4. Asas legalitas dilengkapi dengan kemungkinan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat dan berlakunya hukum adat. Dengan demikian dimungkinkan berlakunya ajaran sifat melawan hukum materiil (materiele wederechtelijkheid) dalam fungsinya baik negatif maupun positif (Pasal 1 ayat (3) RUU;
  5. Masalah keadilan (justice) yang bersifat dominan. Dalam Pasal 16 RUU diatur, bahwa dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum;
  6. Dalam merumuskan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tidak lagi dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen)
    (WvS Buku II dan Buku III). Teori dan konsep yang mendasari pembedaan tersebut ('wetsdelict' dan 'rechtsdelict') tidak lagi relevan karena tidak lagi diterapkan secara konsisten. Kedua jenis delik tersebut disatukan dengan satu istilah "Tindak Pidana' (Bab II) ;
  7. Pengaturan 'corporate criminal responsibility' yang bersifat umum atas dasar Teori Identifikasi (Pasal 44 s/d Pasal 49 RUU);
  8. Pengaturan kemungkinan diterapkannya bentuk 'vicarious liability' dan 'strict liability' (Pasal 32 RUU);
  9. Tujuan pemidanaan (the aim of punishment) yang bersifat komprehensif-integral dan teleologis dirumuskan, baik yang memperhatikan si pelaku (memasyarakatkan terpidana dan membebaskan dari rasa bersalah) maupun yang bersifat melindungi masyarakat (mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman masyarakat ) serta mengembalikan harmoni kehidupan social (menyelesaikan konflik). Tujuan yang bersifat retributive dianggap 'implied' dalam pelbagai tujuan pemidanaan yang multi-dimensional tersebut (Pasal 50 RUU);
  10. Pengaturan tentang pedoman penjatuhan pidana (standard guidelines of sentencing/straftoemetingsleidraad) untuk meciptakan pemidanaan yang obyektif dan rasional (Pasal 51 RUU);

  11. Kecenderungan untuk menghindari pidana kemerdekaan jangka pendek (short prison sentence) yang cenderung merusak, dengan mengatur sebanyak mungkin sanksi alternative (alternative sanctions) seperti pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana kerja social dan pidana denda (Pasal 60 RUU dan seterusnya);
  12. Demikian pula mengenai system tindakan yang diatur secara luas pada Pasal 94 RUU dan seterusnya. Sistem tindakan diterapkan sehubungan dengan ketentuan Pasal 34 RUU yang mengatur tentang pelaku yang menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental dan Pasal 35 RUU bagi mereka yang kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa,,penyakit jiwa atau retardasi mental; Pengaturan simultan antara pidana (straf) dan tindakan (maatregel) dalam suatu harmoni dikenal dalam hokum pidana modern sebagai system 2 (dua) jalur (double-track system, Zweispurigkeit);
  13. Pidana mati (capital punishment) tetap dipertahankan, namun diatur dalam pasal tersendiri sebagai 'pidana yang bersifat khusus' dan selalu diancamkan secara alternatif. Pidana mati dijatuhkan sebagai 'upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat' (Pasal 80 RUU). Dengan syarat-syarat tertentu juga dimungkinkan penerapan 'Pidana Mati Percobaan' (conditional death penalty) (Pasal 82 RUU), di mana pidana mati dimungkinkan untuk diubah menjadi pdana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun penjara;
  14. Pidana denda diatur dengan system kategori I-VI untuk mengatasi persoalan inflasi dan sebagainya (Pasal 75 RUU);
  15. Pengaturan sanksi adat berupa 'pemenuhan kewajiban adat' (Pasal 93);
  16. Dalam Pasal 126 diatur pemberatan pidana bagi mereka yang melakukan tindak pidana dengan mendayagunakan keahlian atau profesinya, memanfaatkan anak di bawah usia 18 tahun atau dilakukan pada saat negara dalam keadaan bahaya/huru hara/bencana alam;
  17. Guna menampung perkembangan modern seperti kejahatan telematika (cyber-crime) dan sebagainya pada Pasal 174 RUU diatur bahwa definisi 'barang' mencakup pula 'benda berujut' (air) dan 'benda tak berujut' seperti aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa komputer dan telpon;
Selanjutnya sepanjang berkaitan dengan Tindak Pidana (Bab II), hal-hal yang menarik adalah sebagai berikut :
  1. Kriminalisasi terhadap penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme /Marxisme/Leninisme secara melawan hukum; Apabila sampai menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat maka ada pemberatan pidana. Hal ini sebagai konsekuensi keberadaan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 (Pasal 193 dan Pasal 195 RUU);
  2. Tindak pidana yang terkenal sebagai pasal-pasal penyebaran kebencian dan permusuhan (haatzaai-artikelen), (Pasal 154 dan Pasal 156 WvS) tetap diatur dengan perobahan merupakan 'penghinaan' dan dirumuskan secara materiil. Untuk penghinaan pada pemerintah sah harus menimbulkan akibat terjadinya keonaran dalam masyarakat dan terhadap golongan rakyat Indonesia harus berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang ( Pasal 247 dan Pasal 249 RUU);
  3. Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama diatur dalam Bab Khusus (Bab VII RUU). Hal ini merupakan refleksi bahwa Indonesia merupakan 'Nation State' yang religius, di mana semua agama (religion) yang diakui sah di Indonesia merupakan kepentingan hukum yang besar yang harus dilindungi dan tidak sekedar merupakan bagian dari ketertiban umum yang mengatur tentang rasa keagamaan atau ketenteraman hidup beragama; Hal ini semacam 'Blasphemy' di Inggris atau 'Godslasteringswet' di Belanda;
  4. Bab khusus baru yang lain adalah Bab VI RUU yang mengatur 'Tindak Pidana Terhadap Penyelenggaraan Peradilan'. Tindak pidana di sini tidak hanya mengatur 'Contempt of Court', tetapi juga 'Obstruction of Justice'. Catatan : Ada kritik mengapa dalam Pasal 288 ayat (1) RUU yang diancam pidana hanya penasihat hukum ?
  5. Pasal 255 RUU mengatur 'bukan delik santet' yang bersifat delik materiil, tetapi delik formil untuk mencegah dan memberantas praktek 'black magic' (setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan magis memberitahukan, menimbulkan harapan , menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain untuk menimbulkan kematian, penderitaan mental atau fisik). Dengan kriminalisasi diharapkan dapat mencegah praktek penipuan, praktek 'black magic' benar atau tidak, dan praktek main hakim sendiri anggota masyarakat dalam menangani mereka yang dituduh sebagai dukun santet di beberapa daerah;
  6. Perluasan delik perkosaan dan delik perzinahan (adultery) (delik aduan); menghamili wanita secara tidak bertanggungjawab; persertubuhan dengan janji kawin yang diingkari; homoseksualitas terhadap anak di bawah usia 18 tahun; hidup bersama diluar kawin (kumpul kebo) (merupakan delik materiil dan delik aduan); persetubuhan antara orang dewasa yang tidak kawin atau 'fornication' (merupakan delik materiil dan delik aduan); 'incest' dan 'loitering' (bergelandangan di muka umum untuk melacurkan diri); (Bab XV);Selanjutnya tindak pidana homosukseualitas yang sebenarnya bukan hal yang baru. Pembaharuan dari KUHP hanya berkaitan dengan pembatasan terhadap homosek yang dilakukan terhadap anak di bawah 18 tahun (Pasal 427 RUU KUHP)
    Catatan : Ada yang berpendapat agar delik yang tersebut pada Butir 5 dan delik kumpul kebo dan fornication diatasi saja dengan hukum adat (Pasal 1 ayat 3 RUU);
  7. Dalam membahas delik susila tersebut pada Butir 6, ada kecenderungan masyarakat perkotaan yang secular untuk menerapkan konsep 'victimless crimes' sebagaimana yang berlaku di Barat yang melihat korban sebagai korban individual. Dalam Konsep Timur konsep korban harus dilihat dalam konteks social.
Catatan :
RUU KUHP nampaknya masih memerlukan penyempurnaan dan konsolidasi kembali, dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
(a). Masih kurangnya sosialisasi dan mengingat pula bahwa setelah selesainya perumusan RUU KUHP pada tahun 2000 telah terjadi perkembangan yang pesat dalam hukum pidana, seperti UU tentang Pemberantasan Terorisme yang materinya antara lain juga diatur dalam RUU KUHP (Pasal-pasal 256, 302 dan 303 RUU, ), UU tentang Pengadilan HAM yang mengatur 'genocide' yang juga diatur dalam RUU KUHP, UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pula Tindak Pidana Jabatan yang juga diatur dalam Pasal 304 RUU KUHP, UU No. 23 Tahun 1997 yang mengatur Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang diatur pula dalam Pasal 329-330 RUU KUHP, dan Tindak pidana Pencucian Uang (Money Laundering) serta pemahaman tentang 'Delik Pers' dalam kaitannya dengan HAM dan UU Pers (the freedom of expression) dan lain-lain , maka disarankan agar RUU KUHP tersebut diaudit dan dikonsolidasikan kembali, dengan melibatkan :
  1. Pakar-pakar yang terlibat dalam perancangan; dan
  2. Pakar-pakar lain yang relevan.
Jangka waktu yang dibutuhkan kira-kira antara 3-6 bulan (auditing, konsolidasi dan sosialisasi). RUU yang sudah diperbaharui kemudian diajukan kepada DPR hasil Pemilu 2004, mengingat masa kerja DPR saat ini tidak lama lagi (apalagi mereka sudah disibukkan dengan kegiatan mengadapi Pemilu), padahal RUU terdiri atas lebih dari 600 pasal yang membutuhkan waktu pembahasan yang relatif lama.
Sebagai contoh untuk bahan 'auditing' dan konsolidasi yang bisa juga bermanfaat secara timbal balik dengan perkembangan tindak pidana di luar KUHP, adalah kriminalisasi terhadap orang yang menjadi anggota organisasi terorisme yang diatur dalam Pasal 303 RUU, tetapi belum diatur dalam UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Demikian pula beberapa tindak pidana baru sebagaimana diatur dalam Palermo Convention Tahun 2000 misalnya tentang ikut serta dalam organisasi kejahatan, penyelundupan imigran gelap (human cargo), perdagangan wanita dan anak-anak untuk pelacuran juga belum diatur dalam RUU;
(b). Perkembangan hukum pidana di luar kodifikasi (KUHP), khususnya berupa pelbagai UU Tindak Pidana Khusus nampaknya sulit dihindarkan mengingat berkembangnya pelbagai tindak pidana berat yang sering dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) seperti korupsi, terorisme, kejahatan transnasional terorganisasi (organized transnational crimes) dll., yang memerlukan cara-cara luarbiasa juga untuk menanggulanginya (extraordinary measures) dan seringkali cara-cara luar biasa ini harus menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum baik hukum pidana materiil (KUHP) maupun hukum acara pidana (KUHAP); Catatan : Baru-baru ini Indonesia menandatangani UN Convention Against Coruption, Vienna, 2003. Perlu dikaji implikasinya terhadap hukum nasional yang berkaitan dengan tiga permasalahan pokok hukum pidana.
(c). Telah diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang mempunyai implikasi terhadap hukum pidana dalam bentuk kriminalisasi. Sesuai dengan system yang dianut oleh Indonesia, maka kriminalisasi tersebut tidak terjadi secara otomatis, namun masih memerlukan adanya 'implementing legislation'. Beberapa Konvensi tersebut antara lain adalah Convention Against Torture, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan Convention Against Racial Discrimination.
(d) Perlu dikaji pekembangan asas-asas hukum pidana sehubungan dengan perkembangan hukum pidana nasional dan internasional (international criminal law) yang sangat pesat sepertin keberadaan Statuta Roma 1998, penyimpangan terhadap asas legalitas, kejahatan korporasi, ketentuan pidana mati, penerapan jurisdiksi universal dan asas dalam pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat, 'crimes by omission' dalam kaitannya dengan 'command responsibility', 'war crimes', pemahaman terhadap hukum pidana khusus, perkembangan ajaran sifat melawan hukum materiil dan sebagainya;
(e) Antisipasi tentang implikasi KUHP baru terhadap hukum acara pidana (KUHAP). Sebagai contoh adalah akibat dihapuskannya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran yang disatukan dalam satu istilah 'tindak pidana'.
(f) Penyesuaian dengan iklim demokratisasi sebagai inti Gerakan Reformasi yang bergulir sejak awal tahun 1998.
Alasan perlunya pembaharuan di bidang hukum pidana yaitu alasan adaptif. KUHP nasioanl di masa mendatang harus dapat menyesuaian diri dengan perkembanganperkembangan baru, khususnya perkembangan internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab.
Sebenarnya pembaharuan hukum pidana tidak identik dengan pembaharuan KUHP. Pembaharuan hukum pidana lebih bersifat komprehensif dari pada sekedar mengganti KUHP.
DAFTAR PUSTAKA

  • Arief, Barda Nawawi, (1996) Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti
  • Hadikusuma, Hilman, (1989) Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni
  • Halim , Ridwan (1982) Hukum Pidana Dalam Tanya jawab, Jakarta : Ghalia Indonesia
  • Hamzah, Andi (2008) Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta
  • Kanter dan Sianturi, (1982) Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta : Alumni AHM-PTHM
  • Muladi, (2004), Beberapa catatan berkaitan dengan RUU KUHP BARU , disampaikan pada : Seminar Nasional RUU KUHP Nasional yang diselenggarakan oleh UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM
  • Moeljatno, (1993) Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta
Sudarto, (1981) Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni

You Might Also Like

6 komentar