POLITIK PERTANAHAN SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UUPA

MEMBUAT RESUME SEJARAH DAN POLITIK AGRARIA DARI BUKU “POLITIK PERTANAHAN SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UUPA”
“Eddy Ruchiyat, S.H”
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Individu, Mata Kuliah Hukum Agraria,
Semester Ganjil, Tahun Akademik 2010 / 2011
Dosen Pembimbing : Dedy Hernawan, S.H., M.Hum.
Oleh: Rudi Pradisetia Sudirdja (091000299)
Kelas : E




FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN
JALAN LENGKONG BESAR NO 68 BANDUNG
Telp. (022) 4205945, 4262226
2010 / 1431


Kata Pengantar
Asalamualaikum Wr.wb
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang tiada hentinya memberikan petunjuk, rahmat dan karunia-Nya. Tak lupa Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw, keluarga, sahabat, dan para pengikutnya. Dengan segala rasa syukur yang tinggi penyusun berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan dosen mata kuliah Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Pasundan yaitu Membuat resume tentang “Sejarah dan Politik Hukum Agraria Sebelum dan Sesudah berlakunya UUPA
Adapun tujuan dari penulisan resume ini adalah selain untuk memenuhi kewajiban sebagai mahasiswa yang senantiasa melaksanakan tugas yang diberikan oleh dosen dan juga agar kita mengetahui perkembangan politik hukum agraria..
Penyusun membuatresume ini dengan baik, baik dari isi maupun maupun dari kualitas . Namun penyusun menerima saran dan kritikan konstruktif dari pembaca dengan senang hati.
Akhir kata, semoga resumeini bermanfaat bagi penyusun pada khususnya dan pembaca semua pada umumnya dan juga agar lebih memahami perkembangan politik hukum agraria di Indonesia.

Wabillihi taufik walhidayah wassalammu’alaikum Wr.Wb
Bandung, Oktober 2010
Penyusun


PENDAHULUAN
Dengan berlakunya Undang-undang pokok-pokok Agraria (UUPA) , hukum Agraria Indonesia mengalami sebuah perubahan yang besar, suatu revolusi yang merubahan pemikiran dan landasan politik agraria penjajah yang dibuat demi kepentingan modal asing di satu pihak mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia.
Landasan politik Agraria Nasional yang dianut dalam UUPA yang didasarkan pada pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi :
“ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Disini negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik, Negara hanya cukup bertindak sebagai penguasa untuk memimpin dan mengatur kekayaan nasional untuk kemakmuran rakyat.
Pada zaman kolonial di Indonesia terdapat dualisme bahkan pluralisme di bidang hukum agraria. Ada tanah-tanah eropa , tananh-tanah adat (tanah Indonesia dan ada juga tanah Tionghoa). Tanah-tanah tersebut ketika zaman itu dibedakan menurut penggolongan rakyat yang dikenal dalam pasal 163 I.S. yaitu penduduk golongan eropah, golongan timur asing dan bumi putra.

POLITIK PERTANAHAN SEBELUM DAN SESUDAH BERLAKUNYA UNDANG UNDANG POKOK POKOK AGRARIA
A.Sebelum berlakunya UUPA
1.Hukum Agraria lama bersifat dualistik
Pada zaman kolonial terdapat tanah-tanah yang merupakan hak barat seperti tanah eigendom, tanah erfpacht, tanah opstal. Sedangkan tanah-tanah yang merupakan hak Indonesia seperti tanah ulayat, tanah milik, tanah usaha, tanah gogolan, tanah bengkok, tanag agraricsh eigendom dan lain-lain.
Tanah-tanah eropa hampir semuanya terdaftar di kantor Ordonansi Balik Nama. Tanah-tanah barat ini tunduk pada ketentuan hukum agraria barat misalkan, seperti cara memperoleh, pemeliharaan, lenyapnya, pembebanan dan lain-lain. Perbuatan hukum yang dapat dilakukan terbatas sesuai dengan ketentuan agraria barat. Misalkan tanah egeindom tidak dapat digadaikan, tetapi dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotik menurut BW.
Tanah Indonesia adalah tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia, tanah Indonesia hampir semuanya belum terdaftar, kecuali tanah-tanah agrarisch eigendom, seperti tanah milik di dalam kota Yogyakarta dan Surakarta. Tanah Indonesia tunduk pada ketentuan hukum adat Indonesia. Namun tidak seluruh tanah Indonesia memiliki status sebagai hak-hak asli adat, ada juga yang bukan merupakan hak asli adat seperti tanah agrarissh eigendom yang merupakan ciptaan pemerintah.
Selain dua macam tanah diatas terdapat juga tanah lain, seperti tanah Tionghoa. Tanah Tionghoa adalah tanah-tanah yang dimiliki dengan landerijenbezitrecht. Landerijenbezitrecht adalah hak yang dengan sendirinya diperoleh seorang timur asing pemegang hak usaha di tanah partikelir, yang sewaktu-waktu tanah partikelir bisa dibeli kembali oleh pemerintah. Sehingga dapat dikatakan bahwa tanah tersebut pada asasnya adalah hak milik Indonesia namun subjeknya terbatas pada golongan timur asing.
2.Hukum Agraria Barat Berjiwa Liberal Individual
Dianutnya asas konkordansi di dalam penyusunan perundang-undangan Hindia Belanda dari hukum perdata Prancis, maka secara tidak langsung KUH Perdata Indonesia mengkorkondasi hukum perdata prancis, dikarenakan KUH Perdata Indonesia merupakan konkordansi dari Burgerlijk Wetbook.
Asas-asas hukum Code Civil Prancis yang berjiwa liberal individualistis di konkordansi oleh hukum agraria barat. Hal itu dapat dilihat pada pasal 570 KUH Perdata, “Hak eigendom itu adalah hak yang memberi wewenang penuh untuk menikmati kegunaan sesuatu benda untuk berbuat bebas terhadap benda sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang ditetapkan oleh badan penguasa dan tidak mengganggu hak-hak orang lain”.
Hak eigendom yang bersumber dari hukum agraria barat yang benar-benar memberikan wewenang penuh terhadap eigenaar untuk berbuat bebas terhadap benda yang dimilikinya.
Konsepesi eigendom berpangkal pada kebebasan individu, kebebasan untuk berusaha dan kebebasan untuk bersaing. Tetapi kemudian terjadilah sedikit perubahan pemikiran manusia barat. Masyarakat yang berkonsepsi liberialisme dan individualismemengalami pengaruh masyarakat sosialisme. Masyarakat sosialisme beranggapan bahwa untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera diperlukan pengaturan dari negara dan pembatasan terhadap kebebasan individu.
Konsepsi ini berpengaruh pada isi hak eigendom yang pada kenyataannya membatasi luasnya kebebasan dan wewenang yang ada pada seorang eigenaar. Hak eigendom tidak lagi bersifat mutlak , seorang eigenaar tidak lagi memiliki kebebasan penuh untuk berbuat pada benda yang dimilikinya. Kepentingan masyarakat lebih mendapat perhatian di dalam melaksanakan hak-hak individu.
Namun bagaimanapun pada asasnya konsepsi barat tetap berjiwa individualis yang bertentangan dengan konsepsi Pancasila yang berjiwa gotong royong dan kekeluargaan. Oleh karena itu hukum agraria barat tidak dapat terus dipertahankan.
B.Sesudah berlakunya UUPA
1.Hak menguasai dari Negara
Dalam pasal 2 ayat 1 UUPA ditentukan, bahwa :
“Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dan hal-hal yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”
Pasal 2 UUPA sekaligus memberi tafsiran resmi atau interpretasi otentik mengenai arti “dikuasai” yang dipergunakan di dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945. Sebelum berlakunya UUPA ada yang menafsirkan bahwa dikuasai itu sama dengan dimiliki. Namun UUPA dengan tegas menyatakan bahwa perkataan itu bukan berarti dimiliki. Bahkan asas domein negara dihapuskan oleh UUPA.
Kekuasaan Negara tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
a.Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bimi, air dan ruang angkasa tersebut.
b.Menentukan dan mengatur hubungan hukum atara orang-orang dengan bumi dan lain-lainnya.
c.Mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai air, bumi dan ruang angkasa
2.Instansi pelaksana dari hak menguasai tersebut
Hakmenguasai bumi, air dan ruang angkasa ada pada Negara. Pelaksana dari kekuasaan itu , jika pada bidang legislatif wewenang itu dijalankan oleh DPR bersama pemerintah, jika di eksekutif dijalankan oleh presiden atau menteri.
Pada pasal 2 ayat 4 UUPA pelaksana dari hak menguasai negara tersebut dapat dikuasai atau dilimpahkankepada daerah-daerahSwatantra dan masyarakat hukum adat. Dengan demikian pelaksanaannya, dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah dan penguasa hukum adat yang bersangkutan.
ASAS DOMEIN BERDASARKAN PASAL 1
AGRARICSH BESLUIT (S.1870-118)
A.Riwayat Agraricsh Wet (S.1870-118)
Agraricsh wet ini merupakan pokok yang terpenting dari hukum agraria dan semua peraturan-peraturan yang diselenggarakan oleh pemerintah dahulu. Adapun isinya adalah memberi kesempatan kepada perusahaan-perusahaan pertanian yang besar-besar untuk berkembang di Indonesia. Sedangkan hak-hak rakyat Indonesia harus tetap diperhatikan.
Pasal satu yang mengandung suatu dasar yang lazim disebut : asas umum tanah negara atau asas Domeinverklaring. Pernyataan umum itu dipandang perlu sebab, pemerintah harus mempunyai kekuasaan atas tanah-tanah yang kuat seperti erfpacht, opstal, dan lain sebagainya kepada orang lain.
Untuk menjaga jangan sampai bangsa Indonesia tidak mempunyai tanah, maka dengan S.1875-179 diadakan larangan penjualan tanah dari bangsa Indonesia ke bukan bangsa Indonesia. Larangan menjual tanah tersebut dalam pasal 51 I.S. bermaksud mencegah bertambahnya tanah partikelir, yang merupakan suatu Negara dalam Negara. Hal ini dianggap membahayakan bangsa Indonesia dari sudut politik.
B.Agraisch Besluit (S.1870-118)
Sebagai pelaksana Agrarisch Wetkeputusan Raja tanggal 20 Juli 1870 -15 (1870-118), telah ditetapkan peraturan yang dinamakan Keputusan Agraria (Agrarisch Besluit). Peraturan ini hanya berlaku di daerah Gubernemen di Jawa dan Madura.
Keputusan yang terpenting dari Keputusan Agraria itu termuat pada pasal 1 yang berbunyi :
“... semua tanah yang tidak dapat dibuktikan, bahwa tanah tersebut menjadi eigendom orang lain, adalah tanah Negara (domein van de staat)”
Keputusan pasal 1 menyatakan bahwa semua tanah milik negara, kecuali tanah yang dapat dibuktikan kepemilikannya (tanah eigendom).
Dikarenakan rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat, sementara dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang sama dengan pasal 570 BW. Oleh karenanya jika ketentuan pasal 1 diterapkan maka seluruh tanah rakyat Indonesia menjadi milik negara. Olehkarenanya pemerintah mengkategorikan tanah-tanah yang bukan milik negara, seperti :
a.Tanah-tanah daerah swapraja
b.Tanah-tanah yang menjadi eigendom orang lain menurut pasal 570 BW
c.Tanah-tanah partikelir
d.Tanah-tanah eigendom agraria
Melihat dari ketentuan di atas maka secara prinsip tanah negara dibagi menjadi 2 :
1.Tanah negara yang bebas, artinya tanah-tanah yang tidak terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia
2.Tanah Negara yang tidak bebas, artinya tanh-tanah yang terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Ruchhiyat, Eddy (1986), Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, Bandung : Penerbit Alumni

You Might Also Like

0 komentar