Sejarah Asas Legalitas dalam Hukum Pidana
Asas legalitas merupakan salah satu prinsip hukum pidana, dalam bahasa latin disebut “nullum crimen, nulla poena sine praevia lege poenali” yang artinya suatu perbuatan tidak dapat dipidana sebelum ada undang-undang yang mengaturnya. Asas legalitas dikenal dalam kedua sistem hukum baik itu civil law maupun common law yang membedakan hanyalah interpretasinya saja. Asas legalitas dapat dibedakan dalam hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Empat aspek penting yang merupakan bagian dari asas legalitas ; Lex scripta (hukuman berdasarkan hukum tertulis), Non-retroactivity (larangan berlaku surut), Lex certa (unsur tindak pidana harus jelas), Larangan menggunakan penafsiran analogi
Prinsip legalitas mulai dianggap penting (berkembang) pada sekitar akhir abad ke-18, yakni tersemat dalam konstitusi Amerika Serikat tahun 1983, dan di Benua Eropa setelah Revolusi Perancis melalui Declaration des droits de L’homme et du citoyen (1789), yang pada intinya menyatakan: “tidak seorangpun yang dapat dihukum selain harus berdasarkan hukum yang mendahului perbuatannya”. Seorang sarjana asal Jerman, Anselm von Feurbach kemudian menyatakan dalam bahasa lain sebagai : Nullum crimen, nulla poena sine previa lege poenali.
Landasan pemikiran dari asas legalitas ini terletak pada 2 (dua) hal, yakni sebagai alat pencegahan dan perlindungan hukum. Fungsi pencegahan dimaksudkan agar setiap orang harus mengetahui perbuatan mana saja yang dilarang (akan dihukum) agar dapat menghindari perbuatan tersebut. Dalam hal ini warga negara tidak akan mengetahui perbuatan mana yang digolongkan sebagai kejahatan apabila tidak didefinisikan oleh hukum terlebih dahulu.
Aspek kedua adalah untuk membatasi kekuasaan negara. Dimana negara baru diizinkan untuk ikut campur dalam kehidupan seseorang atau dengan kata lain boleh melanggar hak asasi warga negaranya apabila diizinkan oleh hukum. Dalam konteks ini lebih ditujukan kepada hukum acara pidana untuk mengatur sejauh mana seseorang dapat dirampas kemerdekaannya sebelum dijatuhi hukuman. Juga yang tidak kalah penting adalah sehubungan dengan hukum pidana materil, dimana definis (unsur) kejahatan beserta sanksi pidana yang diancamkan harus diuraikan sejelas mungkin.
Amerika mengadopsi tradisi hukum civil law yang menghormati prinsip legalitas dengan mencantumkannya dalam konstitusi, dimana tindak pidana harus tertulis, harus jelas, dan larangan terhadap penerapan hukum yang berlaku surut. Sementara, penerapan analogi tidak terlalu dilarang, melainkan diperbolehkan dalam batasan tertentu. Dalam tradisi hukum common law khususnya Inggris, prinsip legalitas tidak begitu diakui, paling tidak, tidak secara resmi diakui, dan tidak ada pemisahan yang ketat terhadap ajaran trias politica. Hal ini merupakan konsekuensi dari kewenangan hakim membentuk hukum, maka persyaratan hukum tertulis dan pelarangan hukum yang berlaku surut sulit untuk dihindari. Selain itu, penggunaan analogi untuk mendefinisikan kejahatan secara umum dapat diterima.
Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa terdapat empat aspek penting dalam asas legalitas yang terdiri dari :
1. Lex scripta
Dalam tradisi hukum civil law, aspek pertama penghukuman berdasarkan hukum “lege” dimaknai sebagai berdasarkan hukum tertulis. Implikasinya adalah pelarangan terhadap penggunaan hukum kebiasaan sebagai sumber hukum yang secara langsung. Tanpa definisi yang diberikan undang-undang terhadap perbuatan tertentu yang dianggap sebagai kejahatan, perbuatan tersebut tidak bisa dihukum. Hal ini bukan berarti hukum kebiasaan tidak memiliki peranan, melainkan secara tidak langsung bisa digunakan untuk memaknai penerapan dari undang-undang, seperti tentang “kesucian”.
2. Lex certa
Prinsip berikutnya yang sangat erat kaitannya dengan persyaratan hukum yang harus tertulis, adalah element kejelasan dalam menyatakan suatu kejahatan, yang disebut sebagai “lex-certa”. Hal ini juga disebut sebagai prinsip kepastian maksimum, yang mana hal ini ditujukan kepada legislatif. Pihak legislatif harus merumuskan dengan jelas dan setegas mungkin, batasan antara perilaku yang dilarang dan mana yang tidak.
3. Non-retroaktif
Pelarangan hukum yang berlaku surut atau “previa lege”, yang berarti seseorang dihukum atas perbuatannya berdasarkan hukum yang jelas dan tertulis yang sudah ada pada saat perbuatan itu dilakukan. Prinsip berlaku surut ini dapat bisa dikecualikan ketika pemberlakuannya akan menguntungkan terdakwa (in bonam partem). Sementara jika pemberlakuannya akan merugikan terdakwa (in malam partem), pemberlakuan surut suatu produk hukum tetap dilarang. Dengan kata lain, dalam beberapa kasus, prinsip berlaku surut itu dibolehkan.
4. Analogi
Dalam tradisi hukum civil law ada ketentuan pembatasan terhadap penefsiran yang bersifat analogi terhadap definisi kejahatan. Hakim harus berpegang teguh seketat mungkin pada definisi yang diberikan oleh hukum (undang-undang). Ketika hakim menghukum perbuatan tertentu dengan menggunakan analogi (perumpamaan – penulis), maka hakim akan dianggap melintasi batas-batas kepastian hukum. Namun, penggunaan analogi dalam mendefinisikan kejahatan yang belum terakomodir dalam teks hukum, merupakan pilar utama dalam proses penemuan hukum di sistem hukum common law.
0 komentar