ISLAM "RAHMATAN LIL ALAMIN" “MENYIKAPI KEJADIAN DI ACEH SINGKIL”

ISLAM “RAHMATAN LIL ALAMIN”
(Menyikapi Kasus Aceh Singkil)
Oleh : Rudi Pradisetia Sudirdja, SH
(Tulisan ini telah dimuat dalam kolom opini Harian Serambi Indonesia pada Hari Jumat tanggal 18 Oktober 2015 pada Halaman 18) 

Piagam Madinah sebagai "konstitusi" yang mengatur hubungan antar warga negara, termasuk hubungan antara umat Islam dengan non-Islam untuk saling menghormati, menghargai dan melindungi satu sama lain dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Piagam ini dibuat pada waktu hijrahnya Nabi Muhammad saw dan kaum muslimin dari Mekkah ke  Madinah, dimana pada saat itu penduduk Madinah yang sudah majemuk dengan berbagai golongan dan berbagai penganut kepercayaan.

Selain umat Islam yang terdiri dari kaum Anshar dan Muhajirin juga terdapat orang Yahudi dan Nasrani yang tersebar di sekitar kota Madinah, maka untuk menjaga kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat itulah Nabi Muhammad saw membuat suatu perjanjian yang saling melindungi hak-hak masing-masing dan demi tercapainya kedamaian di bumi Madinah. Piagam Madinah inilah menjadi dasar hubungan antara umat Islam dengan orang Yahudi dan Nasrani  di Madinah. 

Poin pertama Piagam Madinah itu berbunyi, Innal mukminin min Quraisy, wa Yatsrib, wal-Yahud, waman tabi’ahum wa lahiqabihim (Orang Islam Quraiys dan Madinah, orang Yahudi, dan siapa pun yang berkoalisi dengan mereka) innahum ummatun wahidah (mereka umat yang satu). Jadi jelaslah bahwa para penganut agama itu dipersilakan melaksanakan agamanya masing-masing. Terakhir, piagam ini ditandatangani (disepakati) untuk mengantisipasi dan memberantas kezaliman. Jadi apa pun suku dan agamanya pasti dia akan aman tinggal di Madinah  di bawah kepemimpinan Rasullulah SAW.


Toleransi Tinggi
Nabi saw telah mengajarkan kepada kita bahwa di bawah tuntunan Beliau, umat Islam menunjukan toleransi yang sangat tinggi terhadap umat lain yang tidak seiman. Dengan cara seperti inilah Islam dapat tampil sebagai agama rahmat, agama akhlak, dan agama yang mengajarkan kesantunan.  Bukan tampil dengan wajah kekerasan karena hal tersebut bertentangan dengan konsep Islam sebagai rahmatan lil alamin (menjadi rahmat bagi sekalian alam), sebagaimana firman Allah Swt : "Kami tidak mengutus Engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia.” (QS. Al Anbiya : 107).

Dalam ayat lain Allah melarang hamba-Nya saling menghina, saling mencaci, saling mentertawakan antara kaum yang satu dengan yang lainnya, sebagaimana dalam firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik”. ( Q.S. Al Hujurot : 11 ).

Berdasarkan hal tersebut apabila kita turunkan dalam konteks keindonesiaan, Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia merupakan Negara yang berlandaskan hukum  (rechtsstaat)  bukan Negara kekuasaan (machsstaat). Dalam penerapannya hukum harus ditempatkan pada tempat yang paling tinggi, hukum adalah rule of the game bagi semua interaksi manusia dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga setiap tingkah laku kehidupan berbangsa dan bernegara diatur oleh hukum tak terkecuali mengenai kebebasan beragama.

Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu Pasal 28E ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”

Pasal 28E ayat (2)  UUD 1945 juga merumuskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.

Akan tetapi dalam pelaksanaanya kehidupan keberagamaan kita sering tercederai oleh pemahaman yang keliru dan ditafsirkan secara sempit, sehingga merusak sendi-sendi kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Setidaknya, peristiwa yang menyebabkan terjadi konflik antarumat beragama itu sudah beberapa kali terjadi, seperti kasus Tolikara di Papua pada saat pelaksanaan Shalat Idul Fitri 2015 lalu, dan yang terbaru terjadi di Aceh Singkil pekan ini.

Tidak dibenarkan
Sikap main hakim sendiri (eigenrichting) baik yang terjadi di Tolikara maupun terjadi di Aceh Singkil, atau lebih tepatnya kekerasan dengan mengatasnamakan agama tidak dibenarkan di Indonesia dan di negara manapun di dunia ini. Seperti yang diungkapkan oleh Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj yang mengatakan “Apa pun alasan yang melatarbelakangi peristiwa Aceh Singkil, aksi main hakim sendiri terlebih dilakukan dengan cara kekerasan tidak bisa dibenarkan oleh hukum”.

Sementara Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait kasus Aceh Singkil menyatakan ; (1) Dewan Pimpinan MUI sangat menyesalkan pembakaran rumah ibadah oleh oknum yang tidak bertanggungjawab di Kabupaten Aceh Singkil. (2) MUI mendesak aparat penegak hukum untuk melanjutkan proses dan penegakan kepada oknum yang terlibat. (3) MUI mengimbau kepada semua pihak untuk tetap tenang dan tidak terpancing dengan kasus tersebut sambil menunggu proses hukum yang dilakukan pihak kepolisian. (4) MUI mengimbau untuk menaati peraturan yang mengatur tentang kerukukan antarumat. (5). MUI mengimbau kepada semua tokoh-tokoh dan lapisan masyarakat membangun suasana harmonis, sehingga tercipta kerukunan antarumat beragama.

Hal tersebut akan dapat terealisasi apabila semua pihak yang terlibat dalam konflik tersebut dapat menahan diri, tidak terprovokasi. Aparat penegak hukum dalam hal ini Kepolisian dapat menindak tegas para pelaku yang dinilai telah menyebabkan terjadinya peristiwa tersebut.

Disamping itu penting dilakukan upaya resolusi konflik dengan mengedepankan prinsip kekeluargaan yang diprakarsai oleh pimpinan daerah dengan melibatkan para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang terlibat konflik, guna mencapai kesepakatan dan memulihkan keadaan sehingga normal seperti semula. Bukankah mendamaikan orang yang berselisih adalah Ibadah ?  Rasulullah saw bersabda : ”Maukah kalian aku beri tahu tentang suatu amalan yang lebih tinggi derajat [keutamaannya] dari puasa, shalat, maupun sedekah? Para sahabat serentak menjawab : Ya. Beliau lalu bersabda, Mendamaikan hubungan persahabatan dan kekerabatan karena rusaknya hal tersebut merupakan tanda kehancuran” [HR. Tirmidzi].

Tentu kita semua tidak ingin NKRI ini hancur karena persoalan perbedaan agama dan keyakinan yang keberadaannya sudah dijamin oleh UUD 1945 sebagaimana diungkapkan oleh KH. Abdurahman Wahid, bahwa UUD 1945 menjamin semua agama untuk berkembang. Semua penganut agama mempunyai posisi yang sama di mata negara. Apa pun agama yang dianut, mereka adalah bangsa Indonesia. Mereka adalah saudara sebangsa yang punya hak untuk menjalankan kegiatan-kegiatan ibadah menurut keyakinan dan agama masing-masing.
Dalam konteks inilah agama Islam dapat dimaknai sebagai rahmatan lil alamin (menjadi rahmat untuk seluruh alam semesta) dapat diletakan. Semoga permasalahan di Aceh Singkil segera dapat diselesaikan dengan baik, dan setiap elemen masyarakat yang Bingkai Bhineka Tunggal Ika kembali dapat hidup berdampingan dalam suasana harmonis dalam bingkai NKRI sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah saw. Amin





You Might Also Like

0 komentar