PASAL 132 AYAT (1) UU NARKOTIKA LEX SPECIALIST PASAL 55 DAN 56 KUH PIDANA ATAU BIJZONDERE DEELNEMING ?
PASAL 132 AYAT (1) UU NARKOTIKA LEX SPECIALIST PASAL 55 DAN 56 KUH PIDANA ATAU BIJZONDERE DEELNEMING ?
Oleh :
Rudi Pradisetia Sudirdja, SH
(Jaksa Fungsional pada Kejaksaan Negeri Kabupaten Bekasi)
Tindak pidana narkotika merupakan serious crime, suatu kejahatan yang berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif bagi kelangsungan hidup umat manusia. Tindak pidana ini menjadi masalah semua negara, sehingga mayoritas anggota PBB telah menyepakati United Nation Convention Against the Delict Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substances pada tahun 1988. Dikarenakan tindak pidana ini merupakan serious crime, sehingga banyak aturan khusus yang menyimpangi aturan umum (KUH Pidana) yang dibuat oleh pembentuk undang-undang.
Hal yang akan dibahas dalam artikel ini mengenai pasal 132 ayat (1) Undang Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika, apakah pasal 132 ayat (1) merupakan aturan khusus (lex specialist) yang mengesampingkan pasal 55 dan 56 KUH Pidana tentang penyertaan (deelneming) ataukah hanya merupakan perluasan penyertaan, atau biasa disebut juga penyertaan khusus (bizondere deelneming).
Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika merumuskan “Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika dan precursor narkotika sebagaimana dimaksud pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasal 123, pasal 124, pasal 125, pasal 126, dan pasal 129 dipidana dengan pidana penjara yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut”.
Pengertian percobaan (poging) dalam UU Narkotika dapat ditemukan dalam penjelasan pasal 132 ayat (1) yakni “percobaan adalah adanya unsur-unsur niat, adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan bukan semata-mata disebabkan kehendak sendiri”. Pengertian percobaan ini sama dengan pengertian percobaan dalam pasal 53 KUH Pidana, oleh karenanya penjelasan pasal 132 ayat (1) UU Narkotika hanya merupakan bentuk penegasan saja, tidak ada yang berbeda antara keduanya dari segi unsur, yang membedakan hanya sanksi pidana (straftmaat), di KUH Pidana ancaman hukuman terhadap percobaan dikurangi 1/3 sedangkan di UU Narkotika disamakan dengan delik selesai (aflopende delic).
Permufakatan jahat (samenspanning) merupakan suatu perencanaan disertai kesepakatan untuk melakukan suatu kejahatan, dapat dikatakan tindak pidana yang disepakati, dipersiapkan atau direncanakan tersebut belum terjadi. Menurut Jan Remellink, dikutip Edy O.S Hiariej salah bentuk delik abstrak adalah delik-delik persiapan atau voorbereidingsdelicten. Delik persiapan ini ditujukan untuk delik yang menimbulkan bahaya konkrit tetapi tidak memenuhi delik-delik percobaan. Contoh konkrit voorbereidingsdelicten adalah pasal 88 KUH Pidana.
Berbeda dengan percobaan yang memberikan pengertian sama dengan antara UU Narkotika dengan KUH Pidana, pengertian permufakatan jahat dalam KUH Pidana berbeda dengan UU Narkotika. Dalam undang-undang narkotika pengertian permufakatan jahat dapat ditemukan dalam pasal 1 angka 18, yaitu “perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat “untuk” melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu organisasi kejahatan narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana narkotika. Sedangkan dalam pasal 88 KUHP dirumuskan “dikatakan permufakatan jahat apabila dua orang atau lebih telah sepakat “akan” melakukan kejahatan”.
Pengertian permufakatan jahat dalam UU Narkotika merupakan perluasan dari permufakatan jahat KUH Pidana, hal ini ditandai dengan dimuatnya deelneming (melakukan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan) dalam pengertian permufakatan jahat di UU Narkotika. Namun demikian keduanya digantungkan pada tindak pidana yang tidak selesai. Adanya kata “untuk” dan “akan” sebagai bukti bahwa pelaksanaan dari perbuatan tindak pidana belum dilakukan, atau menurut Jan Remellink disebut voorbereidingsdelicten. Dalam permufakatan jahat yang terpenting dua orang atau lebih telah bersepakat atau bersekongkol, jadi yang wajib ada disini adalah kesepakatan dan persekongkolan harus sudah terjadi.
Sebelum masuk pada pokok pembahasan penulis akan memberikan pengertian mengenai deelneming terlebih dahulu sebagai diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUH Pidana, menurut Satochid Kartanegara mengartikan deelneming yaitu apabila dalam satu delik tersangkut beberapa orang atau lebih dari satu orang. Deelneming sendiri terdiri dari beberapa jenis, yaitu “orang yang melakukan (pleger atau dader), orang yang menyuruh melakukan (doen pleger), orang yang turut serta melakukan (medepleger), orang yang membujuk melakukan (uitlokker) dan orang yang membantu melakukan (medeplichtige).
Secara singkat, penjelasan dari masing-masing deelneming tersebut sebagai berikut, menurut Edy O.S Hiariej pleger, artinya tindak pidana harus dilakukan lebih dari seorang (materiel dader), pelaku dalam penyertaan tidak perlu memenuhi semua unsur delik. Dalam doen pleger terdapat dua pihak, orang yang menyuruh (manus domina) dan orang yang disuruh (manus ministra), alat yang dipakai untuk melakukan tindak pidana adalah orang, sehingga orang yang disuruh tidak mempunyai kesalahan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Menurut Chairul Huda, dalam medepleger terdapat kesengajaan ganda (double opzet), kesengajaan pertama, tadi tertuju pada kepada kerjasamanya, yaitu adanya kesadaran atau pengetahuan dari mereka yang terlibat atas suatu kerjasama diantara mereka. Kesengajaaan kedua tertuju kepada kejahatannya itu sendiri, yaitu kesadaran atau pengetahuan dari mereka bahwa keterlibatan mereka semua dalam mewujudkan suatu kejahatan dan orang yang turut serta melakuan tidak harus memenuhi unsur delik apapun. Dalam uitlokker terdapat dua pihak orang yang menganjurkan (actor intellectualis) dan orang yang dianjurkan (auctor materialis), orang yang menganjurkan memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan dengan ancaman atau penyesatan memberi kesempatan atau keterangan, dalam penganjuran orang yang dianjurkan dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, dan yang menganjurkan dipertanggungjawabkan sepanjang perbuatan yang dianjurkan oleh dirinya. Menurut PAF Lamintang, medeplichtige, berarti mereka yang turut tersangkut atau turut bertanggungjawab, yakni turut bertanggungjawab terhadap perbuatan orang lain, karena telah mempermudah atau mendorong dilakukannya kejahatan oleh orang lain.
Mengenai asas lex specialis derogat lex generalis (ketentuan khusus mengesampingkan ketentuan umum), asas ini merupakan asas-asas hukum yang berlaku secara umum, dalam ranah hukum pidana asas ini dapat ditemukan dalam pasal 63 ayat (2) KUH Pidana, “jika suatu perbuatan masuk dalam aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan”. Selanjutnya, dalam pasal 103 KUH Pidana dirumuskan “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh ketentuan undang-undang ditentukan lain”.
Dalam praktik peradilan pidana saat ini, banyak penegak hukum menggunakan pasal 132 ayat (1) UU Narkotika untuk menjerat pelaku tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh 2 orang atau lebih yang melakukan delik selesai (aflopende delic). Hal ini tentunya tidak sesuai dengan pengertian permufakatan jahat yang otentik sebagaimana pasal 1 angka 8 UU Narkotika. Alasan penggunaan pasal 132 ayat (1) UU Narkotika tersebut disandarkan pada alasan adanya asas lex specialis deorgat lex generalis, mengingat undang-undang narkotika merupakan lex specialis dari KUH Pidana. Munculnya pemikiran tersebut karena dalam pengertian permufakatan jahat dalam UU Narkotika terdapat frasa “melakukan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh, menganjurkan” yang merupakan jenis deelneming sebagaimana diatur dalam pasal 55 dan pasal 56 KUH Pidana.
Menurut hemat penulis, pemikiran demikian kiranya kurang tepat, mengingat permufakatan jahat, baik yang diatur dalam UU Narkotika maupun KUH Pidana hanya di peruntukan terhadap tindak pidana yang tidak selesai (voorbereidingsdelicten), yaitu apabila terdapat dua orang atau lebih mereka telah bersepakat dan bersekongkol “untuk” melakukan tindak pidana narkotika, bukan ditujukan terhadap dua orang atau lebih yang telah melakukan tindak pidana narkotika yang selesai atau semua unsur sudah terpenuhi oleh fakta hukum (voltooid).
Pendapat tersebut senada dengan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi dalam putusannya No : 1478/Pid.Sus/2015/PN.Bks tanggal 28 Januari 2015, majelis hakim memberikan pertimbangan :
- Bahwa dalam praktiknya, masih banyak aparat penegak hukum di Indonesia menerapkan Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Narkotika untuk menjerat pelaku tindak pidana selesai yang dilakukan oleh 2 orang atau lebih (sebagaimana diuraikan oleh Penuntut Umum dalam dakwaannya). Hal ini tentunya, tidak sesuai dengan pengertian permufakatan jahat yang otentik. Karena permufakatan jahat yang didefinisikan Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Narkotika dianggap sebagai Lex Specialist dari Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
- Bahwa oleh karena Pasal 1 angka 18 Undang-Undang Narkotika bukanlah Lex Specialist Pasal 55 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan bijzondere deelneming dalam kejahatan Narkotika yang terorganisir, maka sebaiknya dalam perkara a quo, haruslah lebih cermat dalam menerapkan Pasal tersebut, sesuai fakta hukum agar kadilan dapat diterapkan dengan baik dan benar;
Menuru Wirjono Prodjodikoro bijzondere deelneming yaitu sebagai keturut sertaan yang sifatnya khusus. Sifatnya khusus karena permufakatan jahat tersebut memiliki kemiripan dengan deelneming dalam pasal 55 dan 56 KUH Pidana, akan tetapi lebih bersifat khusus. Perbedaannya bahwa keturutsertaan dalam Pasal 55 KUH Pidana para pelaku telah melakukan tindak pidana yang dilarang tersebut, sedangkan dalam permufakatan jahat tindak pidana belum dilakukan oleh pelaku. Jadi yang dihukum atau yang merupakan tindak pidana disini adalah niat yang ditandai adanya kata sepakat dan persekongkolan dari dua orang atau lebih untuk melakukan tindak pidana narkotika. Menurut penulis, pengaturan bijzondere deelneming dalam tindak pidana narkotika cukup beralasan, sebagaimana telah dikemukakan di muka bahwa kejahatan narkotika merupakan serious crime, yang berdampak besar dan multi dimensional terhadap sosial, budaya, ekonomi dan politik serta begitu dahsyatnya dampak negatif bagi kelangsungan hidup umat manusia.
Dengan mempertimbangkan teori hukum tentang delik-delik persiapan (voorbereidingsdelicten), pengertian secara otentik pasal 1 ayat (1) UU Narkotika, Putusan Pengadilan Negeri Bekasi, penulis mengambil suatu kesimpulan bahwa permufakatan jahat dalam pasal 132 ayat (1) UU Narkotika merupakan bijzondere deelneming dari pasal 55 dan 56 KUH Pidana bukan merupakan lex specialis, sehingga pasal 132 ayat (1) KUH Pidana tidak bisa menegasikan keberadaan pasal 55 dan pasal 56 KUH Pidana. Pasal 132 ayat (1) UU Narkotika digunakan terhadap perkara tindak pidana narkotika yang tidak selesai, yaitu terhadap dua orang atau lebih yang bersepakat atau bersengkongkol “untuk” melakukan tindak pidana narkotika, yang dihukum adalah niat yang ditandai adanya kata sepakat untuk melakukan kejahatan. Biasanya, pasal ini diterapkan terhadap kejahatan narkotika yang terorganisir. Sedangkan bagi tindak pidana narkotika yang selesai (voltooid) yang dilakukan dua orang atau lebih haruslah digunakan pasal 55 dan pasal 56 KUH Pidana, karena pasal 132 ayat (1) UU Narkotika tidak ditujukan untuk tindak pidana selesai, maka berlakulah ketentuan pasal 103 KUH Pidana yang merumuskan “Ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh ketentuan undang-undang ditentukan lain”.
Semoga bermanfaat, Ilmu adalah peninggalan yang mulia, adab adalah perhiasan yang selalu baru dan pemikiran adalah kaca cermin yang jernih. -Imam Ali-
REFERENSI
A.R Sujono & Bony Daniel, Komentar dan Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Sinar Grafika, Jakarta, 2011
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1988
Chairul Huda, http://huda- rchairulhudashmh.blogspot.co.id /2016/08/kesengajaan-dalam-penyertaan.html, diakses tanggal 18 Januari 2017
Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (edisi revisi), Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2015
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2015
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1984
Putusan Pengadilan Negeri Bekasi No : 1478/Pid.Sus/2015/PN.Bks tanggal 28 Januari 2015
4 komentar
min ada putusan no 1478/Pid.Sus/2015/PN.Bks engga ?
BalasHapusKak. Kok putusannya ga ada yah?
BalasHapusputusan hukum nya brp thn kira2
BalasHapuspasal 132 ayat (1)? trs kl d tambah pasal 112 ayat (1) kira2 memjalani brp thn?
Kalau permufakatan jahatnya harus lebih dari 1 orang.apakah untuk percobaannya juga harus lebih dari 1 orang ataukah 1 orang saja sudah cukup untuk membuktikan unsur terebut
BalasHapus