Jejak Kenangan Bersama Prof. T. Subarsyah Sumadikara
Pukul 22.00 malam, ponsel saya dipenuhi notifikasi. Grup WhatsApp alumni Universitas Pasundan ramai dengan satu kabar duka:
“Innalillahi wa inna ilaihi raji’un, tos ngantunkeun Prof. Dr. Subarsyah di RS Salamun sekitar jam 22.00. Mugia almarhum ditampi iman Islamna.”
Berita itu membuat saya terdiam sejenak.
Prof. T. Subarsyah Sumadikara, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pasundan yang dikenal hangat, bersahaja, dan dekat dengan mahasiswa, kini telah berpulang ke pangkuan Ilahi.
Perkenalan
Saya menempuh pendidikan sarjana di Fakultas Hukum Universitas Pasundan—tempat pertama kali saya mengenal Prof. T. Subarsyah Sumadikara. “Kang Prof,” begitu saya biasa memanggil beliau, adalah guru mata kuliah Metodologi Penelitian Hukum, salah satu mata kuliah wajib sebelum kami menulis skripsi.
Kedekatan saya dengan beliau terjalin ketika beliau menjabat sebagai Wakil Rektor II Universitas Pasundan. Waktu itu, saya aktif di organisasi mahasiswa dan cukup sering berdiskusi dengan beliau dalam penyelenggaraan kegiatan kampus.
Dalam setiap pertemuan, saya selalu melihat beliau sebagai sosok dosen yang terbuka. Beliau tidak pernah memandang mahasiswa sebagai pihak yang berseberangan dengan kebijakan kampus, melainkan sebagai mitra dialog yang perlu didengar dan dibimbing.
Gaya kepemimpinannya selalu merangkul dan berorientasi pada solusi. Ia dikenal sebagai pejabat yang mendukung berbagai kegiatan positif mahasiswa, baik secara moril maupun materil.
Pemikir yang Metodologis
Sebagai akademisi, Kang Prof dikenal sangat kuat dalam bidang metodologi penelitian hukum. Beliau sering mengingatkan,
“Mahasiswa hukum itu harus tahu cara berpikir, bukan hanya apa yang harus dipikirkan.”
Bagi beliau, hukum bukan hanya soal menghafal pasal, tetapi tentang bagaimana cara berpikir secara logis dan teratur. Metodologi, menurutnya, bukan teori yang rumit, melainkan panduan untuk berpikir benar dan menemukan kebenaran ilmiah.
Dalam setiap perkuliahan, beliau menjelaskan konsep yang sulit dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Beliau ingin mahasiswa memahami bahwa berpikir ilmiah berarti berpikir rasional, sistematis, dan kritis.
Beliau juga selalu mengingatkan, hukum tidak bisa hanya dilihat dari isi aturan (das sollen), tetapi juga dari bagaimana aturan itu diterapkan dalam kehidupan nyata (das sein). Bagi beliau, penelitian hukum bukan berhenti pada pertanyaan “apa bunyi undang-undang”, tetapi juga mencari tahu “mengapa aturan itu dibuat” dan “bagaimana aturan itu bekerja di masyarakat.”
Pecinta Budaya Sunda
Sebagai Ketua Bidang Politik dan Hukum Paguyuban Pasundan, kecintaan Prof. Subarsah terhadap budaya Sunda sudah tidak perlu diragukan. Dalam banyak kesempatan, beliau selalu menyisipkan nilai-nilai kesundaan dalam pidato, kuliah, maupun perbincangan santai.
Menurut beliau, budaya Sunda mengajarkan silih asih, silih asah, silih asuh—nilai yang sama pentingnya dengan etika akademik. Seorang intelektual sejati, katanya, harus tetap ngajenan batur (menghargai sesama), rendah hati, dan tidak kehilangan jati diri budaya.
Cara beliau membawa nilai-nilai budaya ke dalam ruang akademik membuat suasana kampus Universitas Pasundan terasa istimewa: ilmiah, tetapi tetap membumi.
Senang Memotivasi
Hal yang paling berkesan dari beliau adalah semangatnya dalam memotivasi mahasiswa. Ia percaya setiap mahasiswa memiliki potensi—hanya butuh sedikit dorongan dan keyakinan.
Beliau sering berkata, “Kamu bisa. Yang penting niatnya benar, caranya juga benar.”
Hingga setelah saya lulus, komunikasi kami tidak pernah putus. Beliau kerap menanyakan kabar dan memberikan semangat agar saya terus melanjutkan pendidikan. Dalam berbagai kesempatan, beliau bertanya dengan nada akrab khas Sunda, “Tos dugimana disertasi?”
Bahkan setelah saya menyelesaikan studi S3, beliau sempat mengirim pesan:
“Kedah, bahkan kudu janten Guru Besar di UNPAS (mun teu ku urang kusaha deui).”
Saya tersenyum membaca pesan itu dan membalas, “Amin ya rabbal ‘alamin, hatur nuhun pidatona, Kang Prof.”
Warisan
Akhirnya, kepergian Prof. Subarsyah bukanlah akhir dari kisahnya. Warisan beliau tetap hidup dalam diri setiap mahasiswa yang pernah belajar dan berinteraksi dengannya. Catatan kuliah, buku metodologi, dan tutur lembutnya akan terus menjadi penerang bagi generasi yang kelak datang di kemudian.
Beliau telah menunjukkan bahwa seorang akademisi sejati bukan hanya menyampaikan ilmu, tetapi juga menanamkan nilai dan membentuk karakter mahasiswanya.
Selamat jalan, Kang Prof.
Hatur nuhun
Al-Fatihah
0 komentar