Modul Tentang Gratifikasi ?

 

Modul-1-e1445339043403Komisi Pemberantasan Korupsi- Dalam materi pembelajaran Apa Itu Gratifikasi, berisi mengenai latar belakang dilakukannya Pengendalian Gratifikasi apabila dilihat dari Aspek Yuridis dan Sosiologis, contoh penerapan prinsip-prinsip pengendalian Gratifikasi, serta pembahasan mengenai terminologi Gratifikasi. Adapun cakupan materi yang akan dipelajari pada modul ini, yaitu:

  1. Aspek Yuridis Gratifikasi
  2. Aspek Sosiologis Gratifikasi
  3. Definisi Gratifikasi Menurut Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
  4. Prinsip-prinsip Dalam Pengendalian Gratifikasi

A. Aspek Yuridis Gratifikasi

Terminologi Gratifikasi baru dikenal dalam ranah hukum pidana Indonesia sejak tahun 2001 melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut diatur mengenai delik gratifikasi mengatur ancaman pidana bagi setiap pegawai negeri/penyelenggara negara yang menerima segala bentuk pemberian yang tidak sah dalam pelaksanaan tugasnya, atau yang diistilahkan sebagai gratifikasi yang dianggap suap dan tidak melaporkannya pada KPK dalam jangka waktu paling lama 30 hari kerja.

Namun sesungguhnya, aturan yang melarang penerimaan dalam bentuk apapun telah ada jauh sebelum Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diterbitkan. Larangan tersebut secara terperinci telah diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 47 Tahun 1992 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1974 tentang Beberapa Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri Dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kesederhanaan Hidup, khususnya Pasal 7 dan 8.

Pada saat gratifikasi dirumuskan melalui revisi Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK belum ada. Barulah kemudian di Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 dibentuklah KPK dan untuk semakin memperjelas kelembagaan penanganan laporan gratifikasi, dibentuklah direktorat khusus yang menangani penegakan pasal gratifikasi. Pada Pasal 26 juncto Pasal 13 UU KPK dibentuk Subbidang Gratifikasi yang berada pada Deputi Pencegahan.


B. Aspek Sosiologis Gratifikasi

Praktik memberi dan menerima hadiah sesungguhnya merupakan hal yang wajar dan hidup dalam hubungan kemasyarakatan. Praktik tersebut dilakukan mulai dari peristiwa alamiah seperti kelahiran, sakit, dan kematian; penyelenggaraan atau perayaan dalam momentum tertentu seperti aqiqah, potong gigi, sunatan, ulang tahun, perkawinan, hingga acara duka. Dalam konteks adat- istiadat, praktik pemberian bahkan lebih bervariasi. Apalagi Indonesia hidup dengan keberagaman suku bangsa dengan segala adat-istiadatnya. Dalam banyak suku bangsa tersebut tentu saja juga terdapat keberagaman praktik memberi dan menerima hadiah dengan segala latar belakang sosial dan sejarahnya.

Syed Hussein Alatas memotret pemberian hadiah tersebut dalam bukunya Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi (Jakarta, LP3ES; 1987). Menurutnya, praktik pemberian hadiah tidak serta merta dapat dipandang sebagai faktor penyebab korupsi. Hal seperti itu telah hidup cukup lama tidak saja di Indonesia dan negara-negara Asia namun juga negara-negara barat. Akan tetapi, praktik yang bersumber dari pranata tradisional tersebut kemudian ditunggangi kepentingan diluar aspek hubungan emosional pribadi dan sosial kemasyarakatan.

Thamrin Amal Tamagola (2009) juga memandang hadiah sebagai sesuatu yang tidak saja lumrah dalam setiap masyarakat, tetapi juga berperan sangat penting sebagai ‘kohesi sosial’ dalam suatu masyarakat maupun antar-masyarakat/marga/puak bahkan antar bangsa. Senada dengan itu, Kastorius Sinaga (2009) memberikan perspektif sosiologis mengenai gratifikasi yang mengungkapkan bahwa konsepsi gratifikasi bersifat luas dan elementer di dalam kehidupan kemasyarakatan. Jika memberi dan menerima hadiah ditempatkan dalam konteks hubungan sosial maka praktek tersebut bersifat netral. Akan tetapi, jika terdapat hubungan kekuasaan, makna gratifikasi menjadi tidak netral lagi.

Dalam buku yang lain, Sosiologi Korupsi; Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, SH Alatas menulis:
“Hal menarik yang diperbuat di sini adalah perbedaan antara kesewenang-wenangan dan praktek yang layak dari pranata tradisional pemberian hadiah. Bila pembedaan ini sudah diperbuat, tidak sulit membayangkan bagaimana korupsi menjalar. Akan tetapi, kita harus mengkaji makna kebiasaan pemberian sebagai suatu sumber kesewenang-wenangan dalam jaringan kausal korupsi, mengingat fakta bahwa praktek-praktek lain yang disetujui oleh masyarakat telah dijangkiti oleh korupsi” (Alatas, 1983: 56).

Lebih jauh, Alatas membagi 7 tipologi korupsi, yaitu: korupsi transaktif, korupsi yang memeras, korupsi invensif, korupsi perkerabatan, korupsi defensif, korupsi otogenik, dan korupsi dukungan. Terkait dengan praktik pemberian hadiah dalam relasi kuasa seperti dijelaskan di atas, tipologi korupsi invensif merupakan bentuk yang menunjukkan adanya hubungan antara pemberian dengan kekuasaan yang dimiliki penerima. Dijelaskan, korupsi invensif adalah pemberian barang atau jasa tanpa ada pertalian langsung dengan keuntungan tertentu, selain keuntungan yang akan diperoleh di masa akan datang.

Poin penting yang dapat dipahami dari pandangan sejumlah ahli di atas adalah, bahwa memang praktik penerimaan hadiah merupakan sesuatu yang wajar dari sudut pandang relasi pribadi, sosial dan adat-istiadat, akan tetapi, ketika hal tersebut dijangkiti kepentingan lain dalam relasi kuasa maka cara pandang gratifikasi adalah netral tidak bisa dipertahankan. Hal itulah yang disebut dalam Pasal 12B sebagai gratifikasi yang dianggap suap, yaitu gratifikasi yang terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima. Dalam konteks Pasal 12B ini, tujuan dari gratifikasi yang dianggap suap dari sudut pandang pemberi adalah untuk mengharapkan keuntungan di masa yang akan datang dengan mengharapkan pegawai negeri/penyelenggara negara akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewenangannya, demi kepentingan si pemberi tersebut.


C. Definisi Gratifikasi Menurut Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1. Definisi Gratifikasi

Arti gratifikasi dapat diperoleh dari Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, yaitu pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Definisi di atas menunjukkan bahwa gratifikasi sebenarnya bermakna pemberian yang bersifat netral. Suatu pemberian menjadi gratifikasi yang dianggap suap jika terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugas penerima.

Ketentuan tentang gratifikasi yang dianggap suap seperti diatur pada Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut berbeda dengan suap. Hal ini perlu ditegaskan mengingat selama ini masih terdapat kerancuan berpikir seolah-olah delik gratifikasi merupakan bentuk lain dari suap atau menyamakan delik gratifikasi dengan suap. Berikut sejumlah argumentasi hukum yang menegaskan bahwa delik gratifikasi bukanlah suap, yaitu:

a. Gratifikasi merupakan jenis tindak pidana baru. Hal ini ditegaskan pada sambutan pemerintah atas persetujuan RUU tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR-RI tanggal 23 Oktober 2001

“Dalam rancangan undang-undang ini diatur ketentuan mengenai gratifikasi sebagai tindak pidana baru. Gratifikasi tersebut dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya sebagai pegawai negeri atau penyelenggara Negara.

Namun gratifikasi tersebut tidak dianggap suap apabila penerima gratifikasi melapokan pada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu yang ditentukan dan apabila tidak melaporkan dianggap suap. Dalam sistem pelaporan ini untuk menentukan ada atau tidaknya tindak pidana suap tersebut, penerima gratifikasi yang nilainya Rp10.000.000,00 atau lebih, pembuktian bahwa pemberian bukan suap dilakukan oleh penerima Gratifikasi, tetapi yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 pembuktian bahwa gratifikasi sebagai suap dilakukan oleh penuntut umum.”

b. Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Nomor: 34/Pid.B/TPK/2011/PN.JKT.PST dan Putusan Mahkamah Agung Nomor: dengan terdakwa Dhana Widyatmika menegaskan bahwa kalimat “gratifikasi yang dianggap suap” berarti gratifikasi berbeda dengan suap atau gratifikasi bukanlah suap.

c. Pandangan ahli hukum & praktisi hukum, yaitu:

  1. Prof. Dr. Eddy Omar Syarif, SH., MH., Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
    Ahli mengungkapkan perbedaan gratifikasi dan suap terletak pada ada atau tidak meeting of mind pada saat penerimaan. Pada tindak pidana suap, terdapat meeting of mind antara pemberi dan penerima suap, sedangkan pada tindak pidana gratifikasi tidak terdapat meeting of mind antara pemberi dan penerima. Meeting of mind merupakan nama lain dari konsensus atau hal yang bersifat transaksional.
  2. Drs. Adami Chazawi, SH., Dosen Fakultas Hukum Pidana Universitas Brawijaya.
    Ahli memberikan penajaman perbedaan delik gratifikasi dengan suap. Menurut Adami, pada ketentuan tentang gratifikasi belum ada niat jahat (mens rea) pihak penerima pada saat uang atau barang diterima. Niat jahat dinilai ada ketika gratifikasi tersebut tidak dilaporkan dalam jangka waktu 30 hari kerja, sehingga setelah melewati waktu tersebut dianggap suap sampai dibuktikan sebaliknya. Sedangkan pada ketentuan tentang suap, pihak penerima telah mempunyai niat jahat pada saat uang atau barang diterima.
  3. Djoko Sarwoko, SH, MH, Mantan Ketua Muda Pidana Khusus dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
    Suap dan Gratifikasi berbeda. Dalam kasus tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK, ketika tersangka melaporkan setelah ditangkap KPK sedangkan perbuatan yang mengindikasikan meeting of mind sudah terjadi sebelumnya, maka itu tidak bisa disebut gratifikasi. Pelaporan gratifikasi dalam jangka waktu 30 hari tersebut harus ditekankan pada kesadaran dan kejujuran dengan itikad baik. Dalam suap penerimaan sesuatu dikaitkan dengan untuk berbuat atau tidak berbuat yang terkait dengan jabatannya. Sedangkan gratifikasi dapat disamakan dengan konsep self assessment seperti kasus perpajakan yang berbasis pada kejujuran seseorang.


D. Prinsip-prinsip Dalam Pengendalian Gratifikasi

Pengendalian gratifikasi merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk mengendalikan penerimaan gratifikasi melalui peningkatan pemahaman dan kesadaran pelaporan gratifikasi secara transparan dan akuntabel sesuai peraturan perundang-undangan. Dalam menjalankan kegiatan pengendalian gratifikasi, terdapat sejumlah prinsip-prinsip utama, yaitu:

  1. Transparansi;
  2. Akuntabilitas;
  3. Kepastian Hukum;
  4. Kemanfaatan;
  5. Kepentingan Umum;
  6. Independensi; dan
  7. Perlindungan bagi Pelapor.

Berikut ini penjelasan dari masing-masing prinsip pengendalian gratifikasi:

1. Prinsip Transparansi

Prinsip keterbukaan ini tercermin dari adanya mekanisme pelaporan atas penerimaan gratifikasi kepada KPK. Mekanisme pelaporan tersebut merupakan sarana bagi pegawai negeri/penyelenggara negara untuk menguji dan menjamin keabsahan penerimaan- penerimaan yang diperoleh dalam kaitan dengan jabatannya selaku pegawai negeri/penyelenggara negara.
Akan tetapi, prinsip ini tidak serta merta melekat pada setiap tahapan pelaporan penerimaan gratifikasi oleh pegawai negeri/penyelenggara negara. Ketika pelaporan tersebut masuk ke dalam proses penanganan penetapan statusnya oleh KPK, maka prinsip keterbukaan dapat dikesampingkan dengan memandang kepentingan yang lebih besar, yaitu perlindungan bagi pelapor gratifikasi.

2. Prinsip Akuntabilitas

Prinsip akuntabilitas mengacu pada pelapor gratifikasi dan KPK sebagai lembaga Negara yang diberikan tugas dan wewenang oleh undang-undang untuk menerima laporan gratifikasi. Kepada pelapor gratifikasi, prinsip akuntabilitas diimplementasikan sebagai bentuk kewajiban dari pegawai negeri/penyelenggara negara yang telah diberikan amanah untuk menjalankan tugas dan kewenangan dalam jabatan yang diembannya, untuk tidak menerima pemberian dalam bentuk apapun terkait dengan jabatannya dan melaporkan pada KPK dalam hal terdapat penerimaan gratifikasi yang dianggap suap.
Demikian juga dengan prinsip akuntabilitas yang juga melekat pada KPK yang menjalankan tugas untuk menerima hingga menetapkan status kepemilikan gratifikasi. KPK mempunyai kewajiban untuk menentukan status kepemilikan gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja. Kegiatan dan hasil yang dilakukan oleh KPK dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.

3. Prinsip Kepastian Hukum

Prinsip ini berarti, sesuai dengan konsepsi Indonesia sebagai Negara hukum maka KPK dalam menjalankan tugasnya mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan aspek keadilan. Proses penerimaan laporan, pencarian informasi, telaah/analisis dan penetapan status kepemilikan gratifikasi dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kepada pihak pelapor gratifikasi, penetapan status kepemilikan gratifikasi yang disampaikan oleh KPK memberikan kepastian hukum terkait hak dan kewajiban pelapor terhadap gratifikasi yang diterima.

4. Prinsip Kemanfaatan

Prinsip ini mengacu pada aspek pemanfaatan barang gratifikasi yang telah ditetapkan menjadi milik Negara untuk sebesar-besarnya kepentingan Negara. Sedangkan gratifikasi lain yang tidak dianggap suap namun terkait dengan kedinasan, kemanfaatan patut diarahkan pada kemanfaatan oleh institusi dan kemanfaatan bagi masyarakat tidak mampu, sehingga dalam kondisi tertentu gratifikasi yang tidak dianggap suap namun terkait dengan kedinasan dapat disumbangkan pada panti asuhan atau lembaga sosial lainnya yang dinilai membutuhkan.

5. Prinsip Kepentingan Umum

Prinsip Kepentingan Umum merupakan perwujudan dari implementasi konsep rakyat sebagai pemilik kedaulatan sehingga pengaturan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan Negara diarahkan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Prinsip ini juga menekankan pada sikap untuk mendahulukan kepentingan masyarakat banyak dibanding kepentingan pribadi. Dalam konteks pengendalian gratifikasi, prinsip kepentingan umum terwujud dari tidak meminta dan menerima pemberian-pemberian dari masyarakat terkait dengan pelayanan atau pekerjaan yang dilakukan. Dan jika dalam kondisi tertentu terjadi penerimaan maka wajib dilaporkan pada KPK. Pelaporan tersebut merupakan bentuk sikap pegawai negeri/penyelenggara negara mengesampingkan kepentingan pribadi dan tetap konsisten menjalankan tugas sebagai abdi Negara.

Demikian juga dengan KPK yang menjalankan tugasnya dengan mengacu pada kepentingan publik secara luas, termasuk dalam penerimaan laporan gratifikasi hingga penetapan status kepemilikan gratifikasi.

6. Prinsip Independensi

Bagi pelapor gratifikasi prinsip independensi ini ditunjukkan dengan sikap menolak setiap pemberian dalam bentuk apapun yang terkait dengan jabatannya atau melaporkan penerimaan gratifikasi yang dianggap suap kepada KPK. Pelaporan tersebut akan memutus potensi pengaruh pada independensi penerimaan gratifikasi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

7. Perlindungan Pelapor Gratifikasi

Pelapor gratifikasi dapat dikualifikasikan sebagai pelapor sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 huruf (a) UU KPK. Sehingga, berdasarkan ketentuan tersebut KPK mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap pelapor gratifikasi. Institusi lain yang terkait dengan pelaksanaan prinsip perlindungan pelapor gratifikasi ini adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, instansi atau lembaga tempat pelapor gratifikasi bekerja juga wajib memberikan perlindungan dan memastikan tidak terdapat intimidasi dan diskriminasi dalam aspek kepegawaian terhadap diri pelapor.

 

Sumber : http://www.kpk.go.id/gratifikasi/wp-content/themes/gratifikasi/modul/modul1/index.html

You Might Also Like

0 komentar