MEMBUAT RANGKUMAN TENTANG KEJAHATAN DAN PELANGGARAN MENGENAI TINDAKAN ALAT ALAT NEGARA


MEMBUAT RANGKUMAN TENTANG KEJAHATAN  DAN PELANGGARAN MENGENAI TINDAKAN ALAT ALAT NEGARA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Kelompok, Mata Kuliah Delik-Delik Khusus,
Semester Ganjil, Tahun Akademik 2010 / 2011

Dosen Pembimbing : - Hj. Tien S. Hulukati, S.H.,M.Hum. /
                    - Gialdah Tapiansari B ., S.H.

Oleh: 
Rudi Pradisetia Sudirdja (091000299)
                                                                             Kelas : D


FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PASUNDAN
JALAN LENGKONG BESAR NO 68 BANDUNG
Telp. (022) 4205945, 4262226
2010 / 1431





RANGKUMAN KEJAHATAN DAN PELANGGARAN MENGENAI TINDAKAN ALAT ALAT NEGARA

A. Kejahatan Terhadap Keselamatan Umum
1. Kejahatan Terhadap Keselamatan Umum diatur dalam Pasal 187 s/d Pasal 206 KUHP.
1.      Perbuatan mendatangkan bahaya umum untuk Barang. Menurut Pasal 187 ayat(1) KUHP, dapat dipidana dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika perbuatannya mendatangkan bahaya umum. Kejahatan ini disebut “delik dolus”, artinya kejahatan yang dilakukan dengan sengaja. Jika perbuatan ini dilakukan dengan tidak sengaja (karena salahnya), perbuatan disebut “delik culpa” dan dapat dituntut menurut Pasal 188 KUHP.
2.      Perbuatan mendatangkan bahaya maut kepada orang, dipidana penjara selama-lamanya lima belas tahun, Pasal 187 ayat(2) KUHP. Perbuatan baru dapat dihukum, apabila benar-benar mendatangkan bahaya umum bagi barang, bahaya maut bagi orang, bahaya maut kepada orang lain dan berakibat matinya orang.
3.      Perbuatan mendatangkan bahaya maut kepada orang lain dan perbuatannya berakibat matinya orang dipidana penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun, Pasal 187 ayat(3) KUHP.

“Bahaya umum bagi barang” berarti bahaya bagi barang-barang milik orang banyak (lebih dari seorang) atau bahaya bagi barang-barang dalam jumlah yang banyak milik seorang. Walaupun yang terbakar itu miliknya pelaku sendiri, namun apabila pembakaran itu mengakibatkan bahaya umum bagi orang lain, juga diancam hukuman.
Apabila yang dibakar itu miliknya pelaku sendiri dan tidak menimbulkan bahaya umum, diancam hukuman Pasal 496 KUHP, dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya tujuh ratus lima puluh rupiah.
Diancam hukuman orang yang membakar barang tetapnya sendiri, tanpa izin dari kepala polisi atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kepala polisi. “Barang tetap” disini ialah barang yang tidak bergerak, misalnya rumah.
Apabila pembakaran barang tidak bergerak itu menimbulkan bahaya umum, maka yang bersalah dikenakan Pasal 187 atau Pasal 188 KUHP. Mengenai pembakaran atau mengadakan peletusan. Mengenai “menenggelamkan alat pelayar” yang perbuatannya menimbulkan bahaya bagi umum, bahaya maut atau mengakibatkan matinya orang.
Pasal 198 perbuatan dengan sengaja dan dengan melawan hukum menenggelamkan atau mendamparkan, menghancurkan, membuat demikian rupa sehingga tidak dapat dipakai lagi atau merusakkan alat pelayaran (perahu atau kapal).
Untuk dapat dituntut dengan pasal ini, perbuatan itu harus dilakukan dengan sengaja (delik dolus). Apabila kapal yang ditenggelamkan atau didamparkan itu dibawah jaminan asuransi dikenakan Pasal 382 KUHP, sedang tentang merusak gedung atau kapal, hanya ditentukan “menghancurkan atau merusakkan sehingga tidak dapat dipakai lagi”(Pasal 410 KUHP).
Pasal 199 KUHP, perbuatan itu dilakukan karena kekhilafannya (lalainya, kurang hati-hatinya, salahnya) seseorang, berbeda dengan Pasal 198 KUHP yang perbuatannya dilakukan dengan sengaja.

“menenggelamkan” berarti membuat terbenam ke dasar laut;
“mendamparkan” berarti membuat perahu atau kapal terkandas dilaut dangkal, sehingga tidak dapat dijalankan lagi;
“melawan hukum” berarti bertentangan dengan hak orang lain.

Apabila barang yang dibakar itu barang-barang yang diasuransikan diancam hukuman dalam Pasal 382 KUHP. Apabila pembakaran barang tidak bergerak itu dengan maksud menguntungkan diri sendiri dan merugikan perusahaan asuransi atau orang yang dengan sah memegang surat utang dengan tanggungan alat pelayar atau muatannya, dengan jalan membakar, menyebabkan peletusan dalam suatu barang yang dipertanggungkan bahay api, menenggelamkan, mendamparkan, menghancurkan, mencacatkan atau merusakkan sehingga tidak dapat dipakai lagi.

2.      Pelanggaran Terhadap Kekuasaan Umum untuk Manusia dan Barang
Pelanggaran terhadap keselamatan umum untuk manusia dan barang, diatur dalam Pasal 489 s/d Pasal 502 ayat(1) KUHP.
Diancam dengan pidana denda sebanyak-banyaknya dua ratus lima puluh rupiah, pelanggaran berupa kenakalan terhadap orang atau barang sehingga mendatangkan bahaya, kerugian atau kesusahan Pasal 489 ayat(1) KUHP.
Semua perbuatan-perbuatan yang berlawanan dengan ketertiban umum yang ditujukan pada orang, binatang dan barang yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, yang tidak dapat dikenakan salah satu pasal khusus dalam KUHP, disebut “kenakalan”.
Pasal ini seolah-olah merupakan umum yang dapat menampung segala perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau kesusahan, yang tidak dapat dikenakan pasal tersendiri, seperti membuang kotoran di pekarangan orang lain, melempari rumah orang lain dengan batu-batu yang kecil, melempar-lempar batu atau kulit pisang di jalan umum dan perbuatan-perbuatan kecil lainnya yang dapat mendatangkan bahaya, kerugian atau kesusahan orang lain.
Untuk dapat dituntut menurut pasal ini, tidak perlu dibuktikan apakah bahaya, kerugian atau kesusahan itu benar-benar terjadi, cukup apabila akibat-akibat dari perbuatan itu dapat terjadi.

B. Kejahatan Terhadap Kekuasaan Pemerintah
1. Kejahatan Terhadap Kekuasaan Pemerintah, diatur dalam Pasal 207 s/d Pasal 241 KUHP.
1)      Kejahatan terhadap kekuasaan pemerintah
a)         Menghina badan kekuasaan
Pasal 207 KUHP, isinya :
“Barangsiapa dengan sengaja dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
Unsur-unsurnya :
1)      Perbuatan dengan sengaja;
2)      Menghina dimuka umum dengan lisan atau tulisan;
3)      Terhadap kekuasaan yang diadakan di daerah RI, atau suatu badan umum yang diadakan Negara tersebut.
Adapun yang diancam dalam Pasal ini ialah perbuatan dengan sengaja menghina dimuka umum dengan lisan atau dengan tulisan terhadap suatu kekuasaan yang diadakan di daerah Republik Indonesia atau suatu badan umum, yang diadakan di Negara tersebut.
1)      Kekuasaan yang diadakan di daerah Republik Indonesia misalnya : Gubernur, Bupati, Walikota, Camat dan lain sebagainya;
2)      Badan umum yang diadakan oleh Negara misalnya : MPR, DPR.Pusat, DPR.Daerah, dan lain sebagainya;
3)      Sasaran penghinaan ditujukan kepada suatu kekuasaan atau badan umum; berarti terarah kepada kekuasaan Gubernur dan lain sebagainya, DPR, dan lain sebagainya jadi tidak mengenai orangnya.
Apabila yang dihina orangnya sebagai Gubernur dan lain sebagainya sedang melakukan kewajiban yang sah, dikenakan Pasal 316 KUHP. Penghinaan terhadap badan swasta atau sekelompok orang saja tidak dihukum.
Tetapi apabila penghinaan ditujukan kepada segolongan penduduk misalnya : suku Jawa, Sunda, Gorontalo, Batak, umat Islam, dan umat Kristen dan lain sebagainya, perbuatannya dihukum menurut Pasal 156 KUHP;
4)      “Dimuka umum” berarti dimuka orang banyak. Jadi orang yang menulis di surat kabar yang isinya menghina suatu kekuasaan yang diadakan di daerah Republik Indonesia atau suatu badan umum yang diadakan di Negara tersebut, dituntut dengan Pasal ini.
Macam penghinaan itu misalnya : Gubernur-gubernur di Indonesia ini semuanya “sontoloyo”. Maksud Pasal ini untuk menjamin alat-alat Negara supaya dihormati rakyatnya.

2)      Pasal 136 KUHP, isinya :
“Pidana yang ditentukan dalam pasal-pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah”.
Adapun yang diancam dengan pidana tambahan sepertiga dalam pasal ini ialah orang yang melakukan penghinaan tersebut dalam Pasal 310 s/d Pasal 315 KUHP terhadap pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah.

a)      Mengenai pegawai negeri dan unsur-unsurnya :
·         Pengangkatan oleh instasi umum;
·         Memangku jabatan umum;
·         Melakukan sebagian dari tugas Pemerintah atau bagian-bagiannya;
b)      Mengenai “sedang menjalankan tugasnya yang sah”, diancam hukuman dalam Pasal 211 ialah perbuatan memaksa seorang pegawai negeri untuk menjalankan perbuatan jabatan atau untuk mengalpakan perbuatan jabatan yang sah dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan.

3)      “Memaksa” berarti melakukan tekanan kepada seseorang sedemikian rupa, sehingga orang itu berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. Paksaan itu harus dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 92), dan adapun yang diancam hukuman dalam Pasal 211 s/d 214.
Dengan demikian arti pegawai negeri sebagaimana diterangkan dalam penjelasan Pasal 215 KUHP, termasuk pula :
a)      Orang yang menurut peraturan Undang-Undang selalu atau sementara diwajibkan menjalankan sesuatu jabatan umum;
b)      Pengurus, demikian juga pekerja dan orang gajian yang telah disumpah, dalam pekerjaan kereta api dan pekerjaan tram dalam lalu lintas umum, yang dijalankan dengan kekuatan uap atau kekuatan pesawat lain.
Lebih jelasnya bahwa :
1)      Orang yang menurut Undang-Undang selalu atau sementara diwajibkan menjalankan sesuatu jabatan umum;
2)      Pengurus, demikian juag pekerja dan orang gajian yang telah disumpah, dalam pekerjaan kereta api dan pekerjaan tram dalam lalu lintas umum, yang dijalankan dengan kekuatan uap atau kekuatan pesawat lain.
Catatan :
a)      Orang yang menurut Undang-Undang untuk selalu diwajibkan menjalankan suatu jabatan umum ialah pegawai negeri;
b)      Orang yang menurut Undang-Undang untuk sementara diwajibkan menjalankan sesuatu jabatan umum, ialah orang (bukan pegawai negeri) yang hanya untuk sementara waktu menjalankan sesuatu jabatan umum, misalnya juru sita;
c)      Pengurus, juga karyawan dan pelayan kereta api dan tram yang disumpah, dalam sub 2 pasal ini juga dapat disamakan dengan pegawai negeri.
Adapun yang diancam hukuman dalam Pasal 212 ialah perbuatan melawan :
1)      Pegawai negeri yang sedang mengerjakan jabatannya yang sah dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan; atau
2)      Orang yang pada suatu waktu membantu pegawai negeri itu karena kewajibannya menurut Undang-Undang atau karena permintaan pegawai negeri itu, dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Catatan :
1)      Mengenai yang dimaksud dengan “pegawai negeri”, misalnya jaksa;
2)      Orang yang membantu pegawai negeri karena kewajibannya atau karena permintaan pegawai negeri itu, misalnya pegawai kepolisian;
3)      Mengenai kekerasan (lihat Pasal 89 KUHP);
4)      Pegawai polisi yang mendapat perintah untuk menangkap orang, dapat dikatakan “mengerjakan jabatannya yang sah”;
5)      Perbuatan “melawan dengan kekerasan” itu misalnya : memukul, menendang, menyepak dan lain sebagainya.

4)      Penghinaan terhadap pegawai negeri bukan delik aduan (Pasal 319 KUHP)
Isi Pasal 319 KUHP :
“penghinaan yang diancam dengan pidana menurut pasal ini, tidak dituntut jika tidak ada pengaduan orang terkena kejahatan itu kecuali dalam hal tersebut Pasal 316 KUHP”.
Semua penghinaan tersebut dalam Pasal 310 s/d Pasal 321 KUHP ini adalah delik aduan, kecuali Pasal 316 (penghinaan yang dilakukan terhadap pegawai negeri yang sedang melakukan tugasnya yang sah), pidana nya ditambah seperti dalam pasal-pasal ini.
Penuntutannya untuk pasal ini tidak membutuhkan pengaduan dari orang yang dihina (bukan delik aduan). Dalam prakteknya, pegawai negeri yang dihina itu disuruh membuat pengaduan.
Penghinaan-penghinaan lain yang bukan merupakan delik aduan antara lain penghinaan yang tersebut dalam Pasal 134 (“menghina dengan sengaja” terhadap presiden/wakil presiden), Pasal 137 (tulisan atau gambar yang dapat disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan secara luas), Pasal 142 (sengaja menghina raja yang memerintah), Pasal 143 (sengaja menghina wakil Negara asing pada pemerintah Indonesia dalam pangkatnya), Pasal 144 (menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menghina raha yang memerintah), Pasal 177 (mentertawakan seorang pegawai agama dalam jabatannya yang diizinkan), Pasal 183 (mencaci orang menjadikan ia ditertawakan orang), Pasal 207 (dengan sengaja dimuka umum dengan lisan atau tulisan menghina sesuatu kekuasaan).
Mengenai “pegawai negeri” lihat Pasal 92, sedang mengenai “pengaduan” lihat penjelasan pada Pasal 72 s/d Pasal 75 KUHP.
Pasal 92 KUHP menyatakan :
1)      Dalam sebutan pegawai negeri termasuk sekalian orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan menurut peraturan-peraturan umum, dan juga orang yang bukan karena pilihan menjadi anggota sesuatu dewan pembuat UU, pemerintahan atau perwakilan, yang dibentuk oleh atau atas nama Pemerintah;
2)      Dalam sebutan pegawai negeri dan hakim termasuk segala hakim wasit, dalam sebutan hakim termasuk mereka yang menjalankan kekuasaan mengadili tata usaha pemerintahan, demikian juga ketua dan anggota pengadilan agama;
3)      Sekalian orang yang masuk angkatan bersenjata dianggap sebagai pegawai negeri.
Pasal ini tidak memberikan definisi (arti yang sebenernya) mengenai apa yang disebut pegawai negeri, hanya memberi perluasan, bahwa yang dimaksud menurut peraturan-peraturan umum :
1)      Termasuk sekalian orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan menurut peraturan-peraturan umum;
2)      Demikian juga orang-orang yang bukan karena pilihan menjadi anggota sesuatu dewan pembuat Undang-Undang, pemerintahan atau perwakilan yang dibentuk oleh atau atas nama pemerintah.
Menurut yurisprudensi yang dianggap sebagai pegawai negeri adalah orang yang diangkat oleh kekuasaan umum menjadi pejabat umum untuk menjalankan sebagian tugas pemerintah atau bagian-bagiannya.
Jadi, unsur-unsur yang termasuk pegawai negeri adalah :
1)      Pengangkatan oleh instansi umum;
2)      Memangku jabatan umum;
3)      Melakukan sebagian dari tugas pemerintah atau bagian-bagiannya.
Penjelasan Pasal 72 KUHP, ada beberapa peristiwa pidana (hampir semuanya kejahatan) yang hanya dapat dituntut atas pengaduan (permintaan) dari yang kena peristiwa pidana. Peristiwa pidana semacam itu disebut delik aduan.
Delik aduan ada dua jenis, yaitu :
1)      Delik aduan absolut (mutlak); dan
2)      Delik aduan relatif (tidak tetap).

         Ad 1)   Delik aduan absolut, ialah delik aduan yang senantiasa hanya dapat dituntut, apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal : 284, 287, 293, 310 dan berikutnya 332, 322 dan 369 KUHP.
Dalam hal ini pengaduan diperuntukkan menuntut peristiwanya, sehingga pengaduannya harus disusun sebagai berikut : “Saya minya agar peristiwa ini dituntut”. Karena yang dituntut itu adalah peristiwanya, maka dengan sendirinya semua orang yang terlibat dalam peristiwa itu (melakukan, membujuk, membantu) harus dituntut. Sesuai dengan jenisnya, yakni delik aduan absolut, delik aduan ini tidak dapat dipisah.
Contoh : Seorang suami yang mengadukan peristiwa perzinahan (Pasal 284 KUHP) yang dilakukan isterinya, ia tidak dapat menghendaki agar pria yang berzinah saja dengan isterinya saja yang dituntut, sedang isterinya (mungkin karena ia masih cinta) dibebaskan dari tuntutan.
         Ad 2)   Delik aduan relatif, ialah delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi apabila dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367 KUHP, berubah menjadi delik aduan. Delik aduan relatif ini terdapat dalam Pasal-Pasal 367, 370, 376, 394, 404 dan 411 KUHP.
Dalam peristiwa ini pengaduan tidak diperuntukkan menuntut peristiwanya, akan tetapi untuk menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam peristiwa itu, jadi delik aduan ini dapat dipisah.
Contoh : Seorang bapak yang barang-barangnya dicuri (Pasal 362 KUHP) oleh dua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengajukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua orang anaknya yang bernama A dan B, dapat mengadukan pengaduan hanya seorang saja dari kedua anak itu, misalnya A, sehingga B tidak dituntut. Permintaan tuntutan dalam pengaduannya untuk ini harus disusun sebagai berikut, “Saya minta supaya anak saya yang bernama A dituntut”.

5)      Pasal 25 RUU KUHP konsep Th.2006 menyatakan bahwa :
1)      Dalam hal-hal tertentu, tindak pidana hanya dapat dituntut atas dasar pengaduan;
2)      Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat(1) ditentukan secara tegas dalam Undang-Undang;
3)      Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) mensyaratkan adanya pengaduan secara mutlak, penuntutan dilakukan kepada semua peserta, walaupun tidak disebutkan oleh pengadu.
6)      Pasal 26 RUU KUHP konsep Th.2006 menyatakan :
1)      Dalam hal orang yang terkena tindak pidana aduan belum berumur 16 (enam belas) tahun dan belum kawin atau berada dibawah pengampuan, maka yang berhak mengadu adalah wakilnya yang sah menurut hukum perdata;
2)      Dalam hal wakil yang sah tidak ada, maka penuntutan dilakukan atas pengaduan wali pengawas atau majelis yang menjadi wali pengawas atau pengampu pengawas, atau atas dasar pengaduan isterinya atau keluarga sedarah dalam garis lurus;
3)      Dalam hal wakil sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak ada, maka pengaduan dilakukan oleh keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.

7)      Isi Pasal 316 KUHP :
“Pidana yang ditentukan dalam Pasal-Pasal sebelumnya dalam bab ini, dapat ditambah dengan sepertiga, jika yang dihina adalah seorang pejabat pada waktu atau karena menjalankan tugasnya yang sah”.
Orang yang diancam dengan pidana tambahan sepertiga dalam pasal ini, orang yang melakukan penghinaan tersebut dalam Pasal 310 s/d 315 KUHP, dan terhadap pegawai negeri yang sedang menjalankan tugasnya yang sah.
1)      Mengenai pegawai negeri lihat Pasal 92 KUHP;
2)      Mengenai “sedang menjalankan tugasnya yang sah” periksa penjelasan Pasal 211 dan Pasal 212 KUHP.
Penghinaan terhadap pegawai negeri bukan delik aduan (Pasal 319 KUHP). Penghinaan-penghinaan yang bukan delik aduan ialah penghinaan dalam Pasal 134, 137, 142, 143, 144, 177, 183, 207 dan 208 KUHP.

8). Pasal 156 KUHP. Isinya :
            “barang siapa dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah’.
a.       Periksa pasal 154 KUHP, syarat yang penting dalam pasal ini adalah, perbuatan itu dilakukan dimuka umum, tidak perlu ditepi jalan, asal ditempat yang dapat dilihat dan dikunjungi orang banyak.;
b.      Isi pasal 156 KUHP, ini hampir sama saja dengan isi pasal 154 KUHP, hanya bedanya kalau pasal 154 KUHP rasa kebencian atau penghinaan itu ditujukan kepada Pemerintah Republik Indonesia, pada pasal ini rasa kebencian atau penghinaan tersebut ditujukan kepada sesuatu atau beberapa golongan penduduk Indonesia.
c.       Golongan penduduk misalnya :
(1). Kebangsaan : Eropa, Cina, Jepang atau Indonesia dll.; Agama; Islam, Kristen,    Budha, atau Hindu dll.;
(2). Suku : Gorontalao, Jawa, Madura, dll.

Unsur-unsurnya:
(1). Perbuatan dengan sengaja;
(2). Dimuka umum menyatakan perasaan permusuhan/penghinaan;
(3). Satu/beberapa golongan di Indonesia;

9). Pasal 208 ayat (1) KUHP. Isinya :
       “Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan dimuka umum suatu tulisan atau lukisan yang memuat penghinaan terhadap suatu penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia, dengan maksud supaya penghinaan itu diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana penjara paling lama empat  bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.
     Diancam hukuman dalam pasal ini ialah perbuatan mempertunjukan atau menempelkan suatu tulisan atau gambar yang isinya menghina suatu kekuasaan yang diadakan di daerah republik Indonesia atau suatu badan umum yang diadakan negara diketahui oleh umum atau lebih diketahui oleh umum :
1)      Mengenai “menyiarkan”, “mempertunjukan” atau “menempelkan” lihat pasal 155 KUHP.;
2)      Mengenai ”menghina” yang dimaksud oleh pasal ini, “kekuasan” atau “badan umum” yang diadakan di daerah republik Indonesia (lihat pasal 207 KUHP).;
3)      “Umum” adalah khalayak ramai.

       Pasal 155 KUHP tersirat isinya sebagai berikut:
1)      Apabila meninjau kembali pasal 154 KUHP, maka dapat disimpulkan, bahwa pasal 154 KUHP tersebut menuntut delik pers, sedangkan pasal ini menuntut penyebarannya;
2)      Pasal ini mengancam hukuman kepada orang yang menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau gambar yang isinya menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap Pemerintah Republik Indonesia, dengan maksud supaya isi tulisan atau gambar itu diketahui oleh umum atau lebih dikenal oleh umum.
Walaupun tulisan atau gambar yang isinya menyatakan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah RI dibuat oleh orang lain, yang dituntu adalah orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan.
3)      Adapun yang dapat menyiarkan adalah misalnya: surat kabar, majalah, buku, surat selebaran, atau lainnya, yang dibuat dalam jumlah yang banyak;
4)      “mempertunjukkan” berarti memperlihatkan kepada orang banyak;
5)      “menempelkan” berarti melekatkan sesuatu disuatu tempat yang mudah diketahui oleh orang banyak;
6)      Periksa pula pasal 156, 298 dan 483 KUHP.
Unsur unsurnya:
(1). Perbuatan ddengan sengaja;
(2). Perbuatan mempertunjukan atau menempelkan suatu tulisan atau gambar yang isinya menghina;
(3). Ditujukan kepada Penguasa atau badan umum;
(4). Maksud supaya isi tulisan atau gambar diketahui oleh umum.

10). Penyuapan seorang pejabat
            Tindak pidana dari pasal 209 dan pasal 210 awalnya oleh Peraturan Pemerintah pengganti Undang- undang No.24 tahun 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi pasal 1 sub a dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi. Undang-undang ini disebut undang-undang anti korupsi.

11). Pasal 209 ayat (1) KUHP Moeljatno menyatakan:
1)      “Diancam dengan pidana penjarapaling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah:
Ke-1.   Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu benda kepada seorang pejabat dengan maksud supaya digerakkan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
Ke-2.   Barangsiapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dalam jabatannya. Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 no. 1-4 dapat dijatuhkan yaitu:
2)      Pencabutan hak tersebut dalam pasal 35 ayat (1) boleh dijatuhkan (UU tindak pidana korupsi, dimana hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah:
Ke-1.   Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
Ke-2.   Hak memasuki angkatan bersenjata;
Ke-3.   Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan umum;
Ke-4    Hak menjadi penasihat (raadsman) atau pengurus menurut hukum (gerechtelijke bewindvoerder) hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang yang bukan anak sendiri.

12). Pasal 210 ayat (1) Moeljatno menyatakan:
       “Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:
Ke-1.   Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang hakim, dengan maksud untuk mempengaruhi putusan tentang perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
Ke-2.   Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang, yang menurut ketentuan undang-undang ditentukan menjadi penasihat atau adviseur untuk menghadiri sidang suatu pengadilan, dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

13). Pasal 210 ayat (2) menyatakan:
     Jika pemberian atau janji dilakukan dengan maksud untuk memperoleh pemidanaan maka yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun;

14). Pasal 210 ayat (3) menyatakan:
       Pencabutan hak tersebut Pasal 35 n0 1-4 dapat dijatuhkan.
       Hukuman tersebut oleh UU anti korupsi tersebut dijadikan dua belas tahun penjara dan atau denda satu juta rupiah:
Ke-1.   Barangsiapa melakukan pemberian (gift) atau menyanggupkan sesuatu kepada seorang pegawai negeri dengan maksud hendak membujuk supaya ia, dalam jabatannya, berbuat atau tidak berbuat sesuatu, satu sama lain bertentangan dengan kewajibannya;
Ke-2.   Barangsiapa melakukan pemberian kepada seorang pegawai negeri oleh sebab atau karena pegawai negeri itu, dalam melakukan jabatannya, berbuat atau melalaikan sesuatu bertentengan dengan kewajibannya.
Sebagai hukuman tambahan, menurut ayat (2), hak-hak dari pasal 35 KUHP dapat dicabut.

15). Menyuap hakim
            Ancaman hukuman di KUHP untuk seorang hakim berbeda dengan pegawai pada umumnyasecara khusus dikenakan hukuman berdasarkan perumusan Wirjono, melakukan pemberian atau kesanggupan kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi keputusan hakimtentang perkara yang sedang diperiksa oleh hakim tersebut.
            Hukumannya lebih berat daripadapenyuapan pegawai negeri pada umumnya (pasal 209 KUHP), yaitu mula-mulamaksimum tujuh tahun penjara, tetapi oleh UU Anti korupsi dujadikan duabelas tahun penjaradan atau denda satu juta rupiah.
            Undang-undang tindak pidana pemberantasan korupsi diatur lebih khusus (periksa pasal 2 s/d pasal 19 KUHP) undang-undang No 31tahun 1999 jo. Undang-undang no 20 tahun 2001.
            Untuk pasal 209 KUHP, hubungan dengan pasal 5 UU pemberantasan korupsi, pidana penjara antara 1 s/d 5 tahun penjara, pidana denda antara 50 juta rupiah s/d 250 juta rupiah;
            Pasal 210 KUHP berdasarkan UU no 31/1999, pidana penjara seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun dan/atau denda setinggi-tingginya tiga puluh juta rupiah.

16). Melakukan kekerasan terhadap seorang pegawai negeri terdapat 5 pasal, pasal 211 s/d pasal 215 KUHP
            Pasal 211 Moeljatno menyatakan :
“Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa seseorang pejabat untuk melakukan perbuatan jabatan atau untuk tidak melakukan perbuatan jabatan yang sah, diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun”.
Unsur- unsurnya:
1).  Perbuatan memaksa seseorang pegawai negeri:
2). Menjalankan perbuatan jabatan atau untuk mengalpakan perbuatan jabatan yang sah:
3). Dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan diancam dengan hukuman dalam pasal iniialah perbuatan memaksa seseorang pegawai negeri untuk menjalan kan perbuatan jabatan atau untuk mengalpakan perbuatan jabatan yang sah, dengan kekerasan atau dengan ancaman kekkerasan.
Catatan:
1).  “memaksa” berarti melakukan tekanan kepada seseorang sedemikian rupa, sehinnga orang itu berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. Paksaan itu harus sengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
       Mengenai “kekerasan” lihat pasal 89 KUHP, yang dipaksa harus “pegawai negeri” bukan orang swasta. Apa yang dimaksud dengan ”pegawai negeri” lihat pasal 92 dan pasal 215. Bila yang dipaksa itu bukan pegawai negeri, maka perbuatan itu diancam hukuman dalam pasal 335 KUHP;
2).   Tujuan paksaan itu ialah supaya pegawai negeri tersebut :
a.       Menjalankan perbuatan jabatan ”perbuatan jabatan” ialah perbuatan yang dilakukan oleh pegawai negeri menurut tugas jabatannya sebagai akibat perintah dari UU, peraturan pemerintah, intruksi dll. Misalnya pegawai polisi meronda, menangkap, menahan orang dsb.
b.      Mengalpakan (tidak melakukan) perbuatan jabatan sah (pada sub 1 perbuatan pada jabatan itu tidak perlu sah, sedangkan sub 2 perbuatan jabatan itu harus sah). Lihat pasal 312 dan pasal 214 KUHP.


17).  Pemaksaan Jabatan (Ambtsdwang)
            Pasal 211 dan Pasal 335 KUHP
Perbedaan antara kedua pasal ini adalah:
Ke-1:   Perbuatan yang dipaksakan agar dilakukan atau tidak dilakukan dalam pasal 211 KUHP
Harus ada hubungan dengan jabatan seorang pegawai negeri,sedang Ps.335 KUHP mengenai berbagai perbuatan yang dipaksakan agar dilakukan atau tidak dilakukan.
Ke-2;   Pada pasla 335 ada unsur melanggar hukum (wederechtelijke) dari hal memkasa ini

2. Pelanggaran Terhadap Kekusasaan Pemerintah
Pelanggaran terhadap kekuasaan pemerintah (Pasal 521 s/d 528 KUHP)
            Pasal 521 KUHP. Dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya dua belas hari atau denda sebanyak-banyaknya sebilan ratus rupiah.Menurut L.N. No 167/1905, Kepala Daerah dapat membuat peraturan tentang pemakaian air atau pembagian air dari saluran pengairan tanah bagi umum yang diumumkan untuk ditaati oleh warga daerah itu. Apabila peraturan ini dilanggar dapat dikenakkan pasal tersebut.
            Pasal 522 KUHP. Dipidana dengan pidana denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah, yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah yang tidak memenuhi panggilan hakim untuk menjadi saksi, orang ahli ayau juru bahasa pada waktu sidang pengadilan dengan melawan hukum.
Pasal 528. Dipidana bagi yang menyalin. Menyiarkan surat yang diperintahkan dirahasiakan.

DAFTAR PUSTAKA
Hulukati, Tien (2009), Delik-Delik Khusus Di Dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana Jilid II.
Djoko Prakoso, S.H., Bambang Riyadi Lany, Amir Muhsin, (1987), Kejahatan-Kejahatan Yang Merugikan Dan Membahayakan Negara, Jakarta : PT Melton Putra
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Umum dan Delik Delik Khusus, Politea Bogor, Tanpa Penerbit dan Tahun


You Might Also Like

0 komentar