FENOMENA BERAS PLASTIK DAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU

Beras
Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Seiring bertambahnya laju pertumbuhan penduduk kebutuhan beras pun semakin meningkat. Menurut Badan Pusat Statistik, angka konsumsi beras masyarakat Indonesia saat ini kurang lebih 124 Kilogram per kapita per orang per tahun atau  28 juta ton per tahun untuk skala nasional (Kompas) sedangkan negara lain seperti Malaysia  rata-rata hanya 90 Kg dan Jepang 60 kg per orang per tahun. Dengan tingginya angka konsumsi tersebut otomatis mempengaruhi stabilitas harga beras, disamping itu untuk memenuhi kebutuhan stok beras nasional  terpaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras dari negara lain.

Akhir-akhir ini terjadi fenomena yang sungguh mengejutkan kita semua bahwa ditemukan beras yang di duga berbahan plastik. Dewi Septiani, 29 tahun seorang penjual nasi uduk di Perumahan Mutiara Gading Timur, Bekasi adalah orang yang pertama kali menemukan beras  tersebut, dijelaskan olehnya bahwa pada saat ia memasak merasa aneh dengan kualitas beras tersebut kemudian dia mengunggahnya di media sosial Facebook dengan tujuan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam membeli beras. Terkait temuan tersebut  pemerintah memalui Kementrian Pertanian, Polri dan juga Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih menunggu hasil pengujian labolatorium terkait dengan dugaan beras sintetis tersebut. Disamping itu belum diketahui dari mana asal usul beras yang di duga sintetis tersebut apakah berasal dari dalam negeri ataukah beras impor dari negara lain.

Secara filosofi konsideran Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan merumuskan bahwa setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan menimbulkan kerugian ekonomi  yang besar bagi negara. Sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia, setiap hari masyarakat pasti mengkonsumsi beras, dengan timbulnya fenomena beras plastik, dan apabila hasil lab menunjukan bahwa beras tersebut memang berbahan pastik atau mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan manusia maka pelaku tidak hanya  menimbulkan kerugian bagi korban secara individu namun telah menimbulkan kerugian bagi negara. Oleh karenanya saya sependapat dengan Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo yang mengatakan bahwa perbuatan memproduksi, menjual, mengedarkan  beras plastik sama halnya dengan perbuatan makar terhadap negara. 

Ditinjau dari hukum pidana perbuatan demikian tergolong dalam jenis perbuatan mala in se. Menurut Miftakhul Huda Mala in se atau malum in se atau biasa disebut mala per se berasal dari bahasa latin yaitu suatu perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat bukan karena diatur demikian atau dilarang hukum positif atau Undang-Undang (UU), melainkan pada dasarnya perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakat yang beradab. Artinya tanpa sebuah UU menentukan perbuatan tersebut sebagai kejahatan atau delik, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang natural. Dalam terminologi bahasa Inggris disebut natural crime. Mala in se adalah “acts wrong in themselves/ acts morally wrong/offenses against conscience”.

Selanjutnya apabila hasil lab menunjukan bahwa beras tersebut positif terbuat dari bahan plastik, atau terdapat campuran plastik atau bahan kimia yang membahayakan kesehatan manusia maka produsen dan penjual beras tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana. Terdapat beberapa ketentuan peraturan perundang undangan salah satunya adalah Undang Undang Perlindungan Konsumen yang dapat menjerat pelaku dengan ancaman pidana yang bervariasi, dari mulai hukuman badan, denda sampai dengan pencabutan izin usaha.

Berdasarkan Pasal 8 ayat 1 huruf a Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen merumuskan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang undangan. Dalam Pasal 8 ayat 2 dirumuskan pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang. Selanjutnya pada ayat 3 dirumuskan Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. Kemudian pada Pasal 9 ayat 1 huruf b Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah­olah barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru. 

Bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud diatas maka diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Disamping itu terdapat juga hukuman tambahan bagi pelaku yaitu berupa ; perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran serta pencabutan izin usaha.






You Might Also Like

0 komentar