Deferred Prosecution Agreement

Selaku anak bangsa, kita patut untuk berbangga, karena Indonesia sudah menetapkan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) yang disusun dalam bentuk SNI ISO 37001: 2016. Indonesia pun masuk dalam jajaran Negara terdepan yang menerapkan sistem tersebut (Juni 2017), setelah sebelumnya Singapura dan Peru (April 2017). SMAP merupakan adopsi identik dari ketentuan hukum internasional dalam Anti Bribery Management Systems Requirements with Guidance for Use.

Penyusunan ketentuan di atas merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah dalam rangka memaksimalkan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi khususnya praktik suap-menyuap. Penyelesaian persoalan suap-menyuap harus dilakukan secara komprehensif. Penegakan hukum terhadap para pelaku harus juga diimbangi dengan upaya deterrence untuk mencegah orang agar tidak melakukan hal tersebut. Oleh karenanya, kehadiran SMAP tidak lain ditujukan agar lembaga, institusi atau organisasi baik publik maupun privat, baik yang berorientasi profit maupun nirlaba memiliki guideline atau panduan untuk menerapkan manajemen anti penyuapan di lingkungan kerjanya masing-masing. Tak hanya sampai di situ, SMAP juga dapat membantu organisasi untuk mengendalikan praktik penyuapan dengan cara mencegah, mendeteksi, melaporkan, serta menangani persoalan penyuapan.

Berkenaan dengan penegakan hukum terhadap kejahatan suap pada sektor bisnis dengan pelaku korporasi yang belakangan ini marak terjadi memang akan menimbulkan persoalan dalam implementasinya. Penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi yang demikian, harus dilakukan secara cermat dan hati-hati. Mengingat, di belakang korporasi tersebut tergantung ribuan bahkan puluhan ribu nasib para karyawan dan keluarganya. Seperti halnya terjadi di Amerika Serikat, perusahaan Arthur Andersen yang telah menjalankan aktivitas sekitar 89 tahun itu, pada akhirnya harus gulung tikar dan puluhan ribu orang harus mencari pekerjaan baru karena proses hukum yang dialaminya. Selain itu, penuntutan terhadap korporasi Arthur Andersen tersebut juga telah membawa dampak yang sangat signifikan terhadap reputasi industri asuransi, yang menyebabkan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan-perusahaan asuransi

Guna mengantisipasi hal tersebut, negara-negara common law memiliki model penegakan hukum  dalam kejahatan bisnis yang disebut deferred prosecution agreement (DPA). Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa DPA merupakan  perjanjian penangguhan penuntutan antara Jaksa dengan korporasi sebagai sebuah diversi dalam penegakan hukum pidana, yang tentunya bertujuan guna menghindari efek domino dan dampak sistemis terhadap berbagai hal termasuk di antaranya berkenaan dengan nasib para karyawan dan perekonomian suatu negara. Lebih lanjut, dalam konsep itu juga dimungkinkan Jaksa untuk meminta korporasi memperbaiki manajemen dan tata kelola perusahaan dengan mengacu pada sistem manajemen anti penyuapan guna menghindari praktik suap serupa di kemudian hari.

Dengan konsep tersebut, diharapkan tindakan aparat penegak hukum tidak semata-mata berfokus pada penindakan (repressive), melainkan juga mempertimbangkan the economic analysis of law, seraya memperhatikan perbaikan tata kelola dan kepatuhan perusahan, sebagai sebuah upaya pencegahan (deterrence) yang terstruktur, terarah dan sistematis.

Untuk memahami lebih jauh konsep DPA, pembaca budiman dapat membaca buku Deferred Prosecution Agreement Dalam Kejahatan Bisnis, karya Dr. Asep N Mulyana. Buku tersebut berisikan gagasan penulisnya berkenaan dengan model penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi dan bisnis, dengan mengacu pada konsep deferred prosecution agreement yang berlaku di negara-negara common law, yang kemudian di elaborasi dengan konsep SMAP.  

You Might Also Like

0 komentar