Peraih Prima Adhyaksa Ini Lulus Cumlaude Program Doktoral FHUI (Hukum Online)
Artikel ini pertama kali dimuat di Hukumonline dengan judul "Peraih Prima Adhyaksa Ini Lulus Cumlaude Program Doktoral FHUI", dan dapat diakses melalui tautan berikut:
https://www.hukumonline.com/berita/a/peraih-prima-adhyaksa-ini-lulus-cumlaude-program-doktoral-fhui-lt64c47283b6c41/
Rudi berhasil mempertahankan disertasinya yang diberi judul Diskresi Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Antara Kepentinggan Hukum dan Kepentingan Umum.
Dalam rezim Hukum Administrasi Negara, diskresi dimaknai sebagai jalan untuk mengatasi persoalan ketika undang-undang tidak mengatur, tidak lengkap, atau tidak jelas. Dengan kata lain, untuk mencegah terjadinya stagnasi dalam proses pengambilan keputusan, pejabat administrasi negara memiliki kewenangan dalam bentuk diskresi. Setidaknya ketentuan Pasal 1 angka 9 UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintah mengatur demikian.
George C. Christie memberikan definisi diskresi sebagai sebuah pilihan dalam pengambilan keputusan. Sementara dalam konteks sistem peradilan pidana, David E. Aronson menyatakan diskresi meliputi tindakan menginterpretasikan undang-undang, penggunaan kewenangan dan pilihan tindakan dari penegak hukum. Karena itu, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan discretionary selama pelaksanaan proses peradilan pidana.
Dalam bidang penuntutan, Ronald F Wright menyebutkan bahwa diskresi penuntutan merupakan kewenangan jaksa dalam memilih dan menentukan penuntutan dari suatu kasus serta menentukan jenis, berat, atau lamanya sanksi yang akan dituntut.
Menurut Jeffery T. Ulmer, cakupan diskresi ini terdiri dari proses pendakwaan, proses menyaring perkara (apakah akan membawa ke pengadilan atau tidak), proses pengakuan bersalah termasuk di dalamnya pengurangan hukuman, tawar menawar, dan terakhir tentang rekomendasi sanksi.
Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Belanda, hingga Jepang telah menempatkan diskresi jaksa sebagai sesuatu yang penting dalam sistem peradilan pidana mereka. Sementara di tanah air, UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum mengatur pemaksanaan tentang diskresi.
Sistem Peradilan pidana Indonesia belum memiliki definisi tentang diskresi, syarat-syarat diskresi dalam sistem peradilan pidana, batasan-batasan diskresi dalam sistem peradilan pidana, letak diskresi dalam sistem peradilan pidana, kemungkinan diskresi dalam tahap pra-ajudikasi hingga purna-ajudikasi, bentuk-bentuk diskresi dalam sistem peradilan pidana, sub sistem peradilan pidana yang diberikan wewenang untuk mengambil tindakan diskresi, hubungan antara diskresi sub sistem yang satu dengan sub sistem yang lain, koreksi atas diskresi, pihak yang diberikan wewenang untuk mengawasi diskresi sub sistem SPP, serta bentuk pengujian apabila ada dugaan penyalahgunaan wewenang diskresi tersebut.
Sejumlah hal di atas diungkap dalam ujian terbuka Sidang Promosi Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) yang menghadirkan promovendus Kepala Sub Bagian Pengelolaan Data I Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung, Rudi Pradisetia Sudirdja. Dalam ujian terbuka tersebut, Rudi berhasil mempertahankan disertasinya yang diberi judul “Diskresi Jaksa dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Antara Kepentinggan Hukum dan Kepentingan Umum”.
“Dalam KUHAP juga belum ada pengaturan yang jelas mengenai diskresi jaksa. Padahal, banyak negara memberikan perhatian yang lebih terhadap diskresi jaksa mengingat posisi jaksa sebagai pemegang kendali penanganan perkara pidana (dominus litis),” ujar Rudi di hadapan Majelis Penguji pada, Jumat (28/7), di FHUI.
Menurut Rudi, diskresi dalam hukum pidana terkait dengan masalah hak asasi manusia dan hanya dapat dilakukan jika diberikan kewenangan oleh undang-undang. Esensi diskresi terletak pada kebebasan jaksa dalam menilai dan menerapkan kewenangan yang dimiliki. Di Indonesia, diskresi jaksa ditemukan pada setiap tahapan sistem peradilan pidana, tetapi hanya didasarkan pada aspek kepentingan hukum dan belum mencakup aspek kepentingan umum. Pelaksanaan diskresi jaksa juga dibatasi oleh prinsip kesatuan komando di lembaga kejaksaan.
Dalam penelitiannya, Rudi menemukan mayoritas responden jaksa di Indonesia jarang menerapkan diskresi karena birokrasi yang rumit. ”Mereka setuju bahwa jaksa harus memiliki independensi dan akuntabilitas yang lebih kuat,” ujar peraih predikat Prima Adhyaksa pada Pendidikan Pembentukan Jaksa Tahun 2016 tersebut.
Dalam disertasinya Rudi menawarkan pendekatan baru bagi jaksa dalam mengambil keputusan, yakni pendekatan the operational efficiency model yang menekankan efisiensi sistem peradilan pidana dengan mempertimbangkan aspek kepentingan umum. Disertasi ini juga menawarkan konsep penuntutan yang menggabungkan asas legalitas dengan asas oportunitas, serta mempertegas posisi jaksa sebagai pengendali perkara dan menjaga independensinya.
Rudi juga mengusulkan konsep diskresi jaksa dalam sistem peradilan pidana, termasuk prinsip-prinsip diskresi, syarat-syarat diskresi jaksa, alternatif penyelesaian perkara oleh jaksa, dan pemaknaan ulang terhadap makna Pasal 139 KUHAP yang mencakup kepentingan umum.
Keberhasilan Rudi meraih gelar Doktor pada FHUI menuai pujian dari senior dan rekan seprofesi di Korps Adhyaksa. Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Reda Manthovani dalam kesempatannya menyampaikan ucapan selamat kepada Rudi. “Saya mengucapkan selamat kepada Rudi Pradisetia yang telah menyelesaikan studinya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia,” ujar Reda.
Reda mengungkap bahwa Rudi adalah lulusan ketiga Program Doktoral FHUI yang saat ini tengah aktif berprofesi sebagai jaksa. Sebelum Rudi, terdapat Reda Manthovani dan Kepala Kejaksaan Tinggi Bali Narendra Jatna yang telah terlebih dahulu meraih gelar Doktor dari FHUI.
Narendra Jatna yang juga merupakan Penguji Eksternal dalam ujian terbuka kali ini dalam kesempatannya mengungkap hal unik tentang keberhasilan Rudi dalam menempuh Pendidikan Doktoral di FHUI. “Apa yang dilakukan promovendus mematahkan mitos bahwa Jaksa kalau menempuh Pendidikan S3 tidak dapat menyelesaikan sesuai dengan waktunya. Karena itu ini sesuatu yang luar biasa,” tutup Narendra.
0 komentar