Jaksa dan Implementasi Pidana Pengawasan di KUHP Baru (Hukum Online)
Artikel ini pertama kali diterbitkan di Hukumonline dengan judul "Jaksa dan Implementasi Pidana Pengawasan di KUHP Baru", yang dapat diakses melalui tautan berikut: https://www.hukumonline.com/berita/a/jaksa-dan-implementasi-pidana-pengawasan-di-kuhp-baru-lt65c284ef91efc/?page=3
Pendekatan pemidanaan pun beralih dari ajaran klasik ke ajaran neoklasik. Ajaran klasik hukum pidana menitikberatkan upaya pembalasan. Adopsi ajaran neoklasik dalam KUHP Baru mencerminkan pendekatan yang lebih holistiK. KUHP Baru mempertimbangkan kepentingan korban (keadilan restoratif), kepentingan pelaku agar menjadi pribadi yang lebih baik (keadilan korektif), dan merehabilitasi konflik yang terjadi (keadilan rehabilitatif).
Perubahan paradigma tersebut memengaruhi jenis pidana pokok dalam hukum pidana di Indonesia. Salah satu hal yang menarik adalah pidana pengawasan sebagai salah satu jenis pidana pokok dalam Pasal 65 KUHP Baru. Pidana pengawasan merupakan bentuk pembinaan di luar lembaga atau penjara. Jenis ini mirip dengan pidana bersyarat—atau biasa disebut pidana percobaan—dalam Pasal 14A dan Pasal 14C KUHP (Wetboek van Strafrecht). Pidana pengawasan adalah alternatif dari pidana penjara yang tidak ditujukan untuk tindak pidana berat.
Penulis menilai penggunaan istilah "pidana pengawasan" merupakan pilihan yang tepat. Istilah "pidana percobaan" seperti dalam praktik peradilan saat ini dapat menyebabkan kebingungan. Setidaknya bisa disalahpahami dengan istilah "percobaan" (poging) dalam Pasal 53 KUHP tentang percobaan tindak pidana.
Dalam praktik, Mahkamah Agung pernah menengahi silang pendapat antara penuntut umum dan hakim terkait makna “pidana percobaan” melalui Putusan No.2471 K/Pid/2006. MA berpendapat perlu membedakan istilah antara "tindak pidana percobaan" dengan "hukuman percobaan" yang merupakan jenis hukuman. KUHP Baru kini sudah memberikan kejelasan. Percobaan (poging) menjadi bagian dari pembahasan tentang tindak pidana, sementara "pidana pengawasan" menjadi pembahasan tentang pidana dan pemidanaan. Jadi, penggunaan istilah "pidana pengawasan" memberikan kedudukan yang lebih jelas.
Pidana Pengawasan
Pidana pengawasan merupakan salah satu bentuk alternatif pemidanaan yang diatur dalam Pasal 75-77 KUHP Baru. Jenis pidana ini dapat diterapkan untuk pelaku yang baru pertama kali melakukan tindak pidana (bukan residivis). Walaupun ditempatkan sebagai jenis pidana pokok, pidana pengawasan ini tidak secara khusus dicantumkan dalam perumusan suatu tindak pidana. Pidana pengawasan dapat diterapkan untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
Pengaturan pidana pengawasan mencegah terpidana dari pengaruh negatif lingkungan penjara yang terkadang justru menjadi “sekolah kejahatan” (prison as a criminal school). Lingkungan penjara dapat memperburuk perilaku terpidana dan meningkatkan kemungkinan residivisme. Tingkat residivisme di Indonesia cukup tinggi pada tahun 2020. Dari total 268.001 tahanan dan narapidana, tingkat residivisme di Indonesia mencapai 18,12 persen (Kemenkumham, 2020).
Penerapan pidana pengawasan mengamanatkan adanya pemenuhan syarat umum dan/atau syarat khusus oleh terpidana. Syarat umum melibatkan komitmen terpidana untuk tidak melakukan tindak pidana lagi—komitmen terhadap perubahan perilaku dan pencegahan residivisme. Di sisi lain, syarat khusus lebih bersifat restoratif dan rehabilitatif. Terpidana harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul akibat tindak pidana dan/atau melakukan atau tidak melakukan sesuatu, dengan tetap memperhatikan kemerdekaan beragama, kepercayaan, dan berpolitik. Ini jelas diatur dalam Pasal 76 ayat (2) dan (3) KUHP Baru.
Pidana pengawasan memberikan peluang bagi terpidana untuk memperbaiki dirinya tanpa harus berada di dalam penjara. Sekali lagi, jenis pidana ini sejalan dengan konsep paradigma pemidanaan modern untuk mewujudkan keadilan korektif, restoratif dan rehabilitatif. KUHP Baru memang menempatkan pidana penjara sebagai alternatif paling akhir. Jenis pidana yang lebih ringan didahulukan jika hal tersebut telah memenuhi tujuan pemidanaan.
Jika terpidana melanggar syarat umum dalam melakukan tindak pidana, maka wajib menjalani pidana penjara. Lamanya tidak boleh melebihi ancaman pidana penjara yang berlaku untuk tindak pidana yang dilakukannya. Ini diatur dalamPasal 76 ayat 4 KUHP Baru.
Jika terpidana melanggar syarat khusus tanpa alasan yang sah, maka Jaksa—berdasarkan pertimbangan pembimbing kemasyarakatan—mengusulkan kepada Hakim agar terpidana menjalani pidana penjara atau memperpanjang masa pengawasan yang ditentukan oleh Hakim. Lamanya tidak lebih dari pidana pengawasan yang dijatuhkan. Ini diatur dalamPasal 76 ayat 5 KUHP Baru.
Lalu, jika terpidana menunjukkan kelakuan baik selama masa pengawasan, maka Jaksa dapat mengusulkan pengurangan masa pengawasan kepada Hakim. Keputusan pengurangan atau perpanjangan masa pengawasan—beserta tata cara dan batasannya—diatur lebih lanjut oleh Peraturan Pemerintah.
Peran Jaksa dalam Implementasi
Penyusunan Peraturan Pemerintah itu harusnya memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya yang menempatkan Jaksa sebagai pelaksana putusan pengadilan dalam perkara pidana. Pasal 270 KUHAP dan Pasal 54 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa pelaksana putusan pengadilan perkara pidana dilakukan oleh Jaksa. Lebih lanjut, Pasal 30 ayat (1) huruf c UU No.11 Tahun 2021 jo. UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menegaskan bahwa Kejaksaan memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat. Ini menunjukkan peran Jaksa di Indonesia sebagai executive ambtenaar, yaitu pelaksana putusan pengadilan termasuk pengawas dalam pidana pengawasan.
Frasa "Tata Cara dan Batas Pengurangan dan Perpanjangan Masa Pengawasan" dalam Rancangan Peraturan Pemerintah ini harusnya dipandang sebagai satu kesatuan. Artinya, ruang lingkup yang diatur dalam frasa ini hanya berkaitan dengan tata cara dan batas pengurangan dalam Pasal 76 ayat (6) KUHP Baru serta tata cara dan batas perpanjangan masa pengawasan dalam Pasal 76 ayat (5) KUHP Baru. Penting untuk dicatat bahwa peraturan ini tidak dimaksudkan untuk mengatur tata cara pelaksana pidana pengawasan yang pengaturannya harus ada dalam level KUHAP.
Tata cara perpanjangan masa pengawasan memerlukan pendefinisian awal mengenai apa yang dimaksud dengan "alasan yang sah”. Dalam konteks ini, pendefinisian tersebut dapat meminjam konsep hukum pidana tentang alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan pembenar dapat diartikan bahwa pelanggaran terhadap syarat khusus tidak didukung oleh alasan yuridis—yang dapat membenarkan atau melegitimasi tindakan tersebut. Di sisi lain, tanpa alasan yang sah—sebagai tidak adanya alasan pemaaf—berarti tidak terdapat alasan yang dapat menghapus atau memaafkan kesalahan dari pelanggaran tersebut.
Pejabat yang berwenang menentukan status pelanggaran terhadap syarat harusnya merujuk pada prinsip dasar hukum acara pidana bahwa Jaksa adalah pelaksana putusan pengadilan pidana (executive ambtenaar). Jaksa memegang peran sentral dalam pelaksanaan putusan pengadilan termasuk pengawasan pelaksanaan putusan pidana pengawasan. Sebagai pelaksana putusan pengadilan, Jaksa memiliki tugas untuk memastikan bahwa terpidana mematuhi syarat-syarat yang ditetapkan. Kewenangan ini mencakup penilaian soal apakah terpidana melanggar syarat umum dan syarat khusus yang telah ditetapkan dalam putusan pengadilan?
Perlu diatur dari mana Jaksa mendapat informasi dalam menentukan terjadi pelanggaran terhadap syarat khusus atau tidak. Sumber informasi ini dapat berasal dari laporan masyarakat/korban, laporan pembimbing kemasyarakatan, atau temuan Jaksa sendiri. Pembimbing kemasyarakatan dapat memberi pertimbangan kepada Jaksa untuk mengusulkan perpanjangan masa pengawasan atau menerapkan pidana penjara.
Prosedur demikian juga perlu terkait pengurangan masa pengawasan. Selaku pengawas, Jaksa menilai apakah terpidana berkelakuan baik sehingga layak diusulkan pengurangan masa pengawasan. Informasi tersebut dapat diperoleh dari laporan korban—misalnya terpidana telah melaksanakan syarat khusus yang ditentukan—, laporan pembimbing kemasyarakatan, atau temuan Jaksa sendiri.
Terakhir, Rancangan Peraturan Pemerintah itu perlu merumuskan ketentuan mengenai batas waktu minimal yang harus dipenuhi seseorang agar berhak mendapatkan pengurangan masa pengawasan. Kualifikasi berkelakuan baik juga harus didefinisikan secara jelas dan objektif. Perumusan cermat dua hal ini penting sebagai pedoman pengurangan masa pengawasan yang konsisten dan adil.
*)Dr.Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H., M.H., Jaksa di Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan anggota Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI).
Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline. |
0 komentar