Teknik Pembuktian Ajaran Dualistis dalam KUHP Nasional (Hukum Online)

Tulisan ini pertama kali dimuat di Hukumonline dengan judul "Teknik Pembuktian Ajaran Dualistis dalam KUHP Nasional", dan dapat diakses melalui tautan berikut: https://www.hukumonline.com/berita/a/teknik-pembuktian-ajaran-dualistis-dalam-kuhp-nasional-lt660ae780146f7/



Ajaran yang memisahkan secara tegas antara perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Setiap tahap pemeriksaan perkara pidana wajib membuktikan kesengajaan untuk mencegah pemidanaan terhadap perbuatan yang tidak sengaja.

Bagaimana pun juga, kita tidak akan rela membebankan derita (sanksi pidana) pada orang lain, sekadar hanya orang itu melakukan tindak pidana, kecuali kita yakin bahwa ia memang dapat dipersalahkan karena tindakannya itu.”—Jan Remmelink (27 April 1922-15 May 2003).

Pengesahan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Nasional) membawa perubahan berarti terhadap sistem hukum pidana di Indonesia. Adopsi ajaran dualistis dalam KUHP Nasional mengakhiri perdebatan teoritis dalam literatur: apakah hukum pidana Indonesia menganut ajaran monistis atau ajaran dualistis. Ajaran monistis tidak memisahkan antara perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Sebaliknya, ajaran dualistis memisahkan keduanya secara tegas.

Salah satu ciri dianutnya ajaran dualistis dalam KUHP Nasional adalah pemisahan pembahasan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. BAB II Buku Kesatu KUHP Nasional dibagi menjadi dua bagian. Bagian Kesatu tentang Tindak Pidana dan Bagian Kedua tentang Pertanggungjawaban Pidana. Tindak pidana diartikan sebagai perbuatan yang oleh peraturan perundang-undangan diancam dengan sanksi pidana dan/atau tindakan (vide Pasal 12). Definisi itu menunjukkan dianutnya ajaran dualistis karena yang dibahas hanya aspek tindak pidana saja. Tidak dibahas tentang kesalahan (schuld) sebagai bagian dari pertanggungjawaban pidana. Ini berbeda dengan ajaran monistis yang menjadikan aspek kesalahan bagian dari pembahasan tindak pidana.

KUHP Nasional juga memberikan penegasan pemberlakuan asas tiada pidana tanpa kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld). Bagian Pertanggungjawaban Pidana menyebutkan bahwa setiap orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan. Kesengajaan dan kealpaan sendiri merupakan bentuk dari kesalahan. Keduanya menjadi bagian pembahasan masalah pertanggungjawaban pidana. Penulis menilai hal ini berimplikasi terhadap perubahan perumusan unsur-unsur tindak pidana. 

Perumusan Unsur Tindak Pidana

Isi KUHP Nasional menegaskan bahwa perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja. Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan (vide Pasal 36 ayat (2)). Terjadi perubahan unsur-unsur beberapa tindak pidana dalam KUHP Nasional. Secara umum, rumusan tindak pidana terdiri dari tiga bagian: subjek (normadressaat), bagian inti delik (delicts bestanddelen), dan sanksi.

Bagian inti delik merupakan kata, frasa, atau kalimat secara eksplisit dalam rumusan tindak pidana pada pasal suatu undang-undang. Isinya merumuskan secara terperinci apa yang dilarang dilakukan (commissiedelicten). Ini termasuk tindak pidana berupa pelanggaran terhadap perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah (omissiedelicten). Menurut Van Bemmelen, hanya bagian inti delik yang harus dimuat dalam surat dakwaan dan dibuktikan di depan pengadilan. Unsur delik (delicts elementen) berkaitan dengan hal-hal yang biasanya tidak tertulis dalam rumusan tindak pidana. Misalnya sifat melawan hukum perbuatan.

Namun, penggunaan istilah bagian inti delik jarang digunakan dalam praktik. Istilah unsur-unsur tindak pidana lebih sering digunakan untuk menunjukkan kata, frasa, atau kalimat yang tertulis dalam pasal suatu undang-undang. Topo Santoso menggunakan istilah unsur-unsur tertulis untuk menyebut delicts bestanddelen dan unsur-unsur yang tidak tertulis untuk menyebut delicts elementen.

Ajaran dualistis yang kini dianut KUHP Nasional membuat kata-kata “dengan sengaja” tidak lagi sebagai bagian inti delik/unsur tertulis dalam suatu Tindak Pidana. Sebagai contoh, Pasal 458 KUHP Nasional tentang Pembunuhan tidak lagi memasukkan kata “dengan sengaja”. Berbeda dengan Pasal 338 KUHP Wetboek van Strafrecht (WvS) yang memasukkan kata “dengan sengaja” sebagai bagian inti delik.

Pasal 458 KUHP Nasional berbunyi, “Orang yang merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling paling lama 15 (lima belas) tahun”. Bandingkan dengan Pasal 338 KUHP WvS: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.

Begitu juga dalam pasal-pasal yang lain misalnya perbandingan Pasal 486 KUHP Nasional tentang Penggelapan dengan Pasal 391 KUHP Nasional tentang Penggunaan Surat Palsu. Tidak ada lagi kata-kata “dengan sengaja”. Ajaran dualistis ini memisahkan secara tegas antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Implikasinya jelas pada perumusan unsur-unsur tindak pidana.

Walaupun demikian, menurut doktrin, frasa "sengaja" dalam perumusan tindak pidana sering mengambil bentuk lain. Contohnya seperti "dengan maksud", "mengetahui", "yang diketahuinya", "padahal diketahuinya", atau "sedangkan ia mengetahui". Bentuk semacam ini pada dasarnya menunjukkan bahwa tindak pidana tersebut dilakukan dengan sengaja.

Lebih jauh lagi, banyak ahli mengatakan kata kerja yang diawali dengan imbuhan me- seperti "mengambil barang" sudah menyiratkan perbuatan tersebut harus dilakukan dengan sengaja.

Kesalahan sebagai Asas Umum

Pembahasan tentang kesengajaan—sebagai salah satu bentuk kesalahan—dalam Buku Kesatu KUHP menandakan pengakuan resmi atas pentingnya asas tiada pidana tanpa kesalahan. Asas ini dulu hanya menjadi diskursus akademik dalam buku-buku teks. Kini ia ditempatkan sebagai asas umum dalam KUHP Nasional Pasal 36 ayat (1) KUHP Nasional menyatakan, “Setiap Orang hanya dapat diminta pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan”. Pengaturan ini memberikan konsekuensi lain yaitu terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana tidak serta-merta membuat seseorang dipidana.

Rumus pemidanaan dalam ajaran dualistis adalah tindak pidana + pertanggungjawaban pidana = pidana dan pemidanaan. Oleh karena itu, pidana hanya dapat dijatuhkan apabila terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana dan juga pertanggungjawaban pidana—yang salah satunya aspek kesalahan.

Lebih lanjut, Pasal 36 ayat (2) KUHP Nasional juga merumuskan bahwa “Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan-perundang-undangan”. Hal ini mengandung arti bahwa setiap tindak pidana harus dianggap dilakukan dengan sengaja. Di sisi lain, unsur “kealpaan” harus tegas dirumuskan dalam undang-undang untuk tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan.

Sebagai contoh, Pasal 311 KUHP Nasional berbunyi, “Setiap Orang yang karena kealpaannya mengakibatkan terjadinya kebakaran, ledakan, atau banjir yang mengakibatkan bahaya umum bagi barang, bahaya bagi nyawa orang lain, atau matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V”.

Menurut penulis, ditiadakannya kata-kata "dengan sengaja"—sebagai bagian inti delik atau unsur-unsur tertulis tindak pidana—disebabkan oleh penerapan asas tentang kesalahan. Asas ini telah ditempatkan dalam Buku Kesatu KUHP Nasional sebagai prinsip umum hukum pidana. Hilangnya “dengan sengaja” dalam rumusan pasal suatu tindak pidana sebenarnya tidak mengindikasikan pasal tersebut dapat diterapkan kepada perbuatan karena kealpaan. Sebab, pasal pemidanaan kepada orang yang melakukan perbuatan karena kealpaan harus secara tegas merumuskan unsur kealpaan (Pasal 36 ayat (2) KUHP Nasional).

Teknik Pembuktian

Penyidik, penuntut umum, dan hakim akan membuktikan bestanddele/unsur-unsur tertulis dalam proses pembuktian tindak pidana. Elementen atau unsur yang tidak tertulis tidak dibuktikan dan dianggap ada, kecuali dibuktikan sebaliknya yang diajukan oleh pihak terdakwa. Namun, apakah pembuktian kesengajaan masih diperlukan dengan tidak tertulisnya "dengan sengaja" dalam suatu pasal?

Jawaban atas pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 36 ayat (2) KUHP Nasional yang menegaskan,“Setiap tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan harus dianggap dilakukan dengan sengaja dan unsur kesengajaan ini harus dibuktikan pada setiap tahap pemeriksaan perkara”.


Artinya, tidak tertulisnya “dengan sengaja” bukan berarti kesengajaan ini tidak perlu dibuktikan. Setiap tahap pemeriksaan perkara pidana tetap wajib membuktikan kesengajaan. Hal ini penting untuk mencegah pemidanaan terhadap perbuatan yang tidak sengaja.

Menurut penulis, pembuktian ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembuktian di dalam bagian inti delik yang berperan sebagai predikat dalam rumusan tindak pidana. Ibnu Fajar Rahim mengatakan bahwa penyusunan tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan idealnya harus memenuhi kaidah SPOK dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh, Pasal 458 KUHP Nasional tentang Pembunuhan menyatakan, "Orang yang merampas nyawa orang lain", subjeknya adalah "orang", predikatnya adalah "merampas", dan objeknya adalah "nyawa orang lain". Oleh karena itu, pembuktian kesengajaan dapat dilakukan dalam bagian inti tindak pidana dalam kata “merampas”.

Kedua, pembuktian kesengajaan dapat dilakukan setelah pembuktian unsur-unsur tindak pidana. Struktur putusan hakim memuat bagian tentang pemenuhan unsur-unsur tindak pidana, bagian tentang pernyataan kesalahan terdakwa, dan pemidanaan yang dijatuhkan. Pembuktian kesengajaan dapat dilakukan dalam analisis pernyataan kesalahan terdakwa.

Begitu pun jika kita melihat struktur Surat Tuntutan dalam Keputusan Jaksa Agung Nomor 227 Tahun 2022 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana Umum. Bagian analisis yuridis berisi dua bagian penting. Pertama adalah pembuktian terkait pemenuhan unsur-unsur tindak pidana. Kedua adalah pembuktian terhadap kesalahan sebagai bagian dari pemenuhan aspek pertanggungjawaban pidana. Penuntut umum dapat membuktikan kesengajaan yang dilakukan oleh terdakwa pada bagian ini. Mekanisme demikian tidak hanya menitikberatkan pada pemenuhan unsur tindak pidana, tetapi juga memperhatikan aspek pertanggungjawaban pidana (kesalahan) sebagai konsekuensi ajaran dualistis.

Akhirnya, ajaran dualistis ini berimplikasi terhadap proses pembuktian perkara pidana di pengadilan. Terpenuhinya unsur-unsur suatu tindak pidana tidak serta merta membuat seseorang dapat dipidana. Harus dipenuhi pula aspek pertanggungjawaban pidana yang memuat aspek kesalahan.

Pembuktian ini juga harus memperhatikan ada atau tidaknya alasan penghapus pidana. Baik alasan pembenar—yang menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan—, maupun alasan pemaaf—yang menghapuskan kesalahan—harus ditinjau. Uraian yang demikian akan membuat pembuktian menjadi lebih paripurna. Tentu ini demi mewujudkan penegakan hukum yang adil sejalan dengan prinsip due process of law di Indonesia.

*)Dr.Rudi Pradisetia Sudirdja, S.H., M.H., Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan anggota Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (ASPERHUPIKI).

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

You Might Also Like

0 komentar