Kejaksaan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan
Pada tahun ini, diprediksi kebakaran
hutan akan meningkat. Hal tersebut sejalan dengan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), yang menyebutkan
bahwa kemarau pada tahun 2019 akan jauh lebih kering, berbeda dengan tahun-tahun
sebelumnya. Diprediksi musim kemarau akan terjadi sejak Juli hingga Oktober 2019.[3]
Hingga Agustus 2019, Pemerintah telah menetapkan status siaga
darurat bencana karhutla terhadap 6 provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera
Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.[4] Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) per Selasa, tanggal 13 Agustus 2019, menyebutkan, jumlah titik
panas di seluruh Indonesia sebanyak 863 titik.[5]
Untuk mencari
penyebabnya, kita dapat merujuk pada Pasal 18 Peraturan Pemerintah RI Nomor
45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan, yang membagi penyebab kebakaran hutan dan lahan menjadi 2 (dua) kategori.
Pertama, karena perbuatan manusia, seperti melakukan pembakaran hutan tanpa izin dengan cara
melakukan kegiatan yang karena kelalaiannya menyebabkan kebakaran antara lain: penggunaan
api di dalam hutan yang tidak terkendali, penggunaan gergaji mesin dan mesin-mesin
lainnya yang ceroboh, atau penggunaan bahan peledak dan zat-zat kimia yang
tidak terkendali. Selain itu, masuk kategori ini juga, seperti membuang
benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran antara lain: puntung rokok yang
masih mengandung api, bara api, petasan, zat-zat kimia, lensa cembung, korek
api. Kedua, kebakaran hutan yang terjadi sebab
daya-daya alam, seperti akibat-akibat petir, gunung berapi, reaksi sumber daya
alam, dan atau gempa.
Kejaksaan
sebagai aparat penegak hukum tentunya akan turut ambil bagian berkontribusi dalam
rangka penanggulangan kebakaran hutan di Indonesia. Dalam bidang pidana, kejaksaan
sebagai institusi penegak hukum yang
memiliki posisi sentral dan strategis selaku pemegang asas dominus litis, yang merupakan poros dan filter antara proses
penyidikan hingga pemeriksaan di persidangan, sekaligus pengendali penanganan
perkara pidana, turut bertanggung jawab untuk memastikan penanganan perkara
tindak pidana kebakaran hutan dan lahan berjalan
secara baik.
Secara
institusional, Kejaksaan Agung juga telah memiliki Satuan Tugas Sumber Daya Alam
dan Lintas Negara (Satgas SDA-LN) yang memiliki tugas khusus penanganan perkara
sumber daya alam yang di dalamnya termasuk tindak pidana kebakaran hutan dan lahan.
Sejak tahun
2015 s/d Juli 2019, Satgas tersebut telah menangani perkara tindak pidana
kehutanan sebanyak 3.438 perkara dan tindak pidana lingkungan hidup sebanyak
349 perkara.[6]
Dalam penanganan perkara, selain menyasar individu, Satgas tersebut menyasar perusahaan-perusahaan
yang dengan sengaja melakukan tindakan pembakaran hutan, melalui pembebanan
pertanggungjawaban pidana.
Keberadaan Satgas SDA-LN terbukti juga secara
efektif memudahkan koordinasi antara penyidik Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan penuntut umum dalam penanganan perkara pidana.
Oleh karena itu, ke depan kiranya keberadaan Satgas ini perlu ditingkatkan
statusnya menjadi sebuah Direktorat. Peningkatan
tersebut dilakukan untuk menjadikan Satgas SDA-LN menjadi lembaga yang
permanen yang masuk dalam struktur organisasi tata kerja Kejaksaan Republik
Indonesia.
Selanjutnya,
yang menjadi hal penting dalam penanganan tindak pidana kebakaran hutan adalah,
bahwa orientasi pemidanaan tidak hanya sekadar menuntut berat pelaku melalui
instrumen pidana badan dan/atau denda saja. Melainkan juga menuntut agar
kerusakan hutan yang terjadi harus diperbaiki, sehingga hutan yang rusak dapat
pulih ke dalam keadaan semula. Mengingat hutan memiliki peran yang sangat vital
bagi keberlangsungan kehidupan manusia.
Dalam bidang
perdata, Kejaksaan melalui peran dan fungsinya sebagai Pengacara Negara dapat
mewakili pemerintah untuk mengajukan gugatan ganti
rugi dan tindakan tertentu berupa tindakan pencegahan dan penanggulangan kebakaran
hutan guna menjamin tidak akan terjadi atau terulangnya dampak negatif terhadap
lingkungan hidup, terhadap usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan
hidup.
Sebagai perbandingan, Kejaksaan di Uni Eropa
dalam permasalahan lingkungan hidup tidak hanya mewakili negara/pemerintah
saja, melainkan juga dapat mewakili masyarakat untuk mengajukan gugatan perdata
kepada korporasi swasta. Hal ini mengingat Kejaksaan sebagai lembaga
pemerintahan yang demi kepentingan umum memandang tindak pidana lingkungan
hidup beserta dampak-dampaknya merupakan persoalan yang berdampak langsung dan
senantiasa bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Oleh karenanya, ke depan
kiranya perlu juga dipikirkan pemberian wewenang pada Jaksa Pengacara Negara
untuk dapat mewakili kelompok masyarakat dalam kasus-kasus yang melibatkan
korporasi yang merugikan kepentingan umum.
[1] Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan, Status Hutan dan
Kehutanan Indonesia 2018, Jakarta, 2018, h, 27.
[2] Pasal 1 angka 1 Rancangan
Undang-Undang Tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan.
[3]Liputan 6, https://liputan6.com/health/read/4025571/puncak-musim-kemarau-diprediksi-terjadi-pada-agustus2019?related=dable&utm_expid=.9Z4i5ypGQeGiS7w9arwTvQ.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Fhealth%2Fread%2F4025571%2Fpuncak-musim-kemarau-diprediksi-terjadi-pada-agustus-2019,
dikases tanggal 20 Agustus 2019.
[4]Voa Indonesia,
https://voaindonesia.com/a/bnpb-6-provinsi-darurat-kebakaran-hutan-dan-lahan/5024342.html,
dikases tanggal 20 Agustus 2019.
[5]Kompas, https://kompas.id/baca/utama/2019/08/13/kerugian-akibat-kebakaran-hutan-bisa-mencapai-ratusan-triliun-rupiah/ dikases tanggal 20 Agustus
2019.
[6] Sunproglap
dan Panil Jaksa
Agung Muda Pidana Umum bulan Juli 2019.
0 komentar